Thursday, January 14, 2016

Qiutters Can Win

Qiutters Can Win Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1

Pembaca, saya yakin Anda pasti pernah mendengar ungkapan, “Winners never quit and quitters never win”, yang jika diterjemahkan menjadi, “Pemenang tidak pernah berhenti (mencoba) dan pecundang tidak akan pernah menang (karena berhenti mencoba)”.

Tahukah Anda siapa tokoh terkenal yang mendeklarasikan pernyataan di atas? Benar sekali. Beliau adalah Vince Lombardi, pelatih sepakbola Amerika yang mashyur.

Mungkin Anda juga pernah mendengar perdana menteri Inggris, saat Perang Dunia Kedua, Sir Winston Churchill berkata, “Never, never, never quit.”

Nah, pertanyaan saya sekarang adalah, “Apakah Anda yakin dan percaya serta menerima sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kedua tokoh ini?”

Saya dulu sangat percaya. Bahkan saya menambahkannya dengan pernyataan, “Sukses diukur bukan dari tingginya pencapaian. Sukses diukur lebih berdasarkan seberapa besar hambatan yang berhasil kita atasi dalam proses mencapai sukses”, dan “Tidak penting berapa kali Anda jatuh, yang penting adalah berapa kali Anda bangkit kembali setelah Anda jatuh”.

Lengkaplah sudah k
... baca selengkapnya di Qiutters Can Win Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor Satu

Sunday, December 13, 2015

Jawa Barat sebagai Kawasan Tropis



Sejatinya, puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan Kepulauan Nusantara ini dengan berbagai kekayaan dan keindahan alamnya. Dan seperti yang sudah banyak diketahui umum, bahwa Indonesia merupakan wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa, sehingga hanya dua musim saja yang berlaku di bumi pertiwi ini, termasuk di dalamnya wilayah Jawa Barat. Terbentuknya kedua musim itu dikarenakan terjadinya perubahan arah angin bertiup setiap enam bulan. Pada enam bulan pertama [Maret-Agustus], biasanya angin bertiup dari arah timur atau tenggara [Benua Australia]. Namun angin model ini tidak membawa uap air, sehingga tidak mendatangkan hujan. Pada enam bulan selanjutnya [September-Februari] angin bertiup dari arah barat [Daratan Asia] yang mengandung banyak uap air, sehingga turunlah hujan di kepulauan di wilayah Nusantara. Musim hujan di Jawa Barat berlangsung lebih lama dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. Tak heran jika angka rata-rata curah hujan mencapai 2.000 mm, bahkan di beberapa tempat bisa mencapai 3.000-5.000 mm [Garna, 1984: 12]. Bogor adalah contoh kota yang lebih sering diguyur hujan, sehingga kota itu dijuluki sebagai kota hujan.

Seorang ahli biologi dari Inggris, Alfred Russel Wallace pada tahun 1861 memberi kesaksian bahwa Jawa Barat merupakan wilayah yang banyak turun hujan. Tepatnya ketika Wallace memutuskan untuk meninggalkan wilayah Jawa Timur untuk kemudian mengunjungi Jawa Barat, dalam pengakuaannnya ia mengungkapkan, “... I then determined to leave East Java and try the more moist and luxurious districts at the western extremity of the islands,” [Wallace, 1902: 83] dan saat dirinya berada di Jawa Barat ia merasakan perbedaan suasana, sebagaiamana terungkap dalam tulisannya lebih lanjut, “...In the east of Java I had suffered from the intense heat and drought of the dry season…Here [West Java] I had got into the other extreme of damp, wet and cloudy weather, ...During the month which I spent in the interior of West Java, I never had a really hot fine day throughout. It rained almost every afternoon, or dense mist came down from the mountains, …” [Wallace, 1902: 87-88]. Biasanya, bulan Desember dan Januari merupakan bulan terbasah, sedangkan bulan Juli dan Agustus merupakan bulan terkering. Saat musim kemarau tiba, suhu udara mencapai titik terpanas pada tengah hari dan mencapai titik terdingin pada waktu tengah malam.

Ketika pulau-pulau di wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan Asia dan pulau-pulau di ujung wilayah Indonesia bersatu dengan daratan Australia, di wilayah ini tumbuhlah beragam flora dan hiduplah bermacam binatang, disusul kemudian dengan hidupnya manusia. Makhluk-makhluk hidup tersebut datang dari arah psat daratan. Mengingat keberadaan lautan yang dalam, maka penyebaran makhluk hidup dari daratan Asia tidak bisa masuk ke arah timur. Tidak heran jika jenis flora, fauna, dan juga manusia beserta kebudayaannya memiliki perbedaan yang cukup mendasar antara wilayah Indonesia bagian barat dengan wilayah Indonesai bagian timur. Kedua wilayah tersebut dibatasi oleh garis Wallace, garis weber, dan garis Huxley. Pada waktu  pulaua-pulau itu terpisah lagi dengan induknya[masa interglasial], maka kehidupan makhluk hidup yang berkembang di masing-masing wilayah menyesaikan diri dengan kondisi lokal. [Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, I, 1984: 36-37].

Kondisi tanah yang ada di ilayah Jawa Barat pada umumnya, mengandung endapan alluvial dan debu vulkanis yang bisa menyuburkan berbagai jenis tanaman dan tumbuhan, baik tanaman peliharaan seperti pertanian maupun tumbuhan liar berupa hutan. Alfred Russel Wallace merupakan salah seorang saksi yang bisa dimintai keterangannya seputar berbagai jenis tanaman yang biasa tumbuh di daerah tropis sampai jenis tanaman yang biasa tumbuh di kawasan dingin seperti di Eropa. Keterangan yang dimilikinya merupakan hasil ekspedisi yang ia lakukan dari Bogor hingga puncak Gunung Pangrango guna mengobservasi dan mengumpulkan contoh segala jenis flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di wilayah tersebut. Lagi-lagi Kebun Raya Bogor mrupakan bukti nyata bahwa hampir semua tanaman tropis dapat tumbuh dengan subur. Kebun di kompleks Istana Cipanas-Cianjur bukti lain yang tak terbantahkan bahwa sejumlah tanaman dan sayuran Eropa bisa tumbuh subur di situ.

Selain itu, hutan lebat yang tampak sepanjang jalan ditumbuhi aneka jenis pohon, mulai dari yang berukuran kecil [seperi lumut, anggrek] hingga yang berukuran besar [seperti rasamala, beringin] dan mulai dari yang tumbuh di dataran rendah hingga yang tumbuh di puncak gunung pada ketinggian 8.000 kaki lebih. Berbagai jenis tanamam yang tumbuh di sekitar Gunung Gede saja, tak kurang dari 300 jenis tanaman tumbuh dengan suburnya [Wallace, 1902: 85, 89-90]. Dalam rangkaian periode sejarah Jawa Barat tercatat beberapa jenis tanaman yang berkembang luas sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sebut saja tarum [indigo], padi, dan lada yang berkembang sampai abad XVII. Kopi, teh, kina, karet, tebu, kelapa sampai awal abad XX. Perkembangan mutkahir jenis-jenis tanaman seperti padi, teh, karet, kelapa, tebu, kelapa sawit, cokelat, dan sejumlah tanaman sayuran mempunyai nilai ekonomi tinggi di Jawa Barat. Sementara itu, jenis pohon berukuran besar yang dimanfatakan kayunya cukup berperan pula dalam kehidupan ekonomi masyarakat Jawa Barat. Bahkan pada awal abad ke-16 Masehi diberitakan oleh Tome’ Pires bahwa pesisir di wilayah Sunda banyak dijumpai pohon yang besar dan tinggi. Misalnya, pohon-pohon yang tumbuh di kiri-kanan pinggir Sungai Cimanuk yang dahan-dahan bagian atasnya bersentuhan, sehingga seolah-olah sungai itu bersatu [Cortesao, 1944: 166-168] dan juga adanya jenis kayu yang dihasilkan dari daerah Cirebon berkualitas tinggi untuk bahan pembuatan kapal laut. Kayu-kayu tersebut diekspor dari pelabuhan Cirebon [Cortesao, 1944: 183]

Areal hutan di wilayah Jawa Barat makin lama berkurang. Pengurangan luas areal hutan itu makin lama makin luas sejak dipergunakan untuk lahan perkebunan, pertanian [sawah dan ladang], pemukiman,dan industri serta diperlukan kayunya untuk bahan bangunan dan lain-lain. Hingga pada awal 1973 hutan di wilayah Jawa Barat luasnya, hanya tersisa 468.018,7 ha untuk hutan lebat, sedangkan untuk hutan sejenis dan hutan belukar tingal 567.036,6 ha saja [Direktorat Tata Guna Tanah, 1973: 7-8]. Fenomena ini menghasilkan banyak hutan gundul yang sering mengakibatkan banjir pada musim hujan karena air hujan tidak terserap oleh tanah dan pepohonan. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi kekeringan karena kekurangan air, sebab tidak ada persediaan air yang biasanya disimpan dalam hutan. Dalam pada itu, lapisan tanah bagian atasyang subur mudah trkikis oleh air hujan [erosi] yang berakibat hilangnya kesuburan tanah. Semua akibat tersebut sudah dan akan terus mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi kehidupan makhluk hidup, jika tak cepat melakukan antisipasi untuk menjaga kelestarian alam.

Seiring dengan tumbuhnya aneka macam tanaman, di wilayah Jawa Barat hidup pula berbagai jenis binatang [fauna], seperti serangga, burung, binatang melata, binatang menyusui, ikan. Nama Jawa Barat menjadi lebih terkenal di dunia internasional karena di daerah ini hidup binatang badak bercula satu yang keberadaannya kini hampir punah akibat ulah manusia. Kini binatang raksasa itu hanya bisa hidup di kawasan cagar alam Ujung Kulon. Jenis binatang lain yang punya kaitan erat dengan kehidupan sosial budaya di Jawa Barat adalah harimau, lutung, kera, kura-kura, buaya, kancil, kuda, kerbau, banteng,anjing, babi, burung beo, kucing, tikus, kupu-kupu, ulat, buruugn betet, burung tekukur, burung kutilang, ular sanca, danlain-lain. Menurut Alfred Russel Wallace, semuua jenis burung dan serangga yang khas Pulau jawa ditemukan di Jawa Barat dalam bjumlah yang banyak. Ia sendiri dalam jangka waktu satu minggu berhasil menangkap dan mengumpulkan tidak kurang dari 24 jenis burung yang tidak ditemukan di Jawa Timur, selanjutnya bertambah menjadi 40 jenis. Ia pun menemukan dan mengumpulkan berbagai jenis serangga dan kupu-kupu dari wilayah ini [Walaace, 1902: 86-87].

Jawa Barat di Era Reformasi



Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Propinsi Jawa Barat merupakan Propinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Propinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950, tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat. Selama lebih kurang 50 tahun sejak pembentukannya, wilayah Kabupaten/Kota di Jawa Barat baru bertambah 5 wilayah, yakni Kabupaten Subang (1968), Kota Tangerang (1993), Kota Bekasi (1996), Kota Cilegon dan Kota Depok (1999). Padahal dalam kurun waktu tersebut telah banyak perubahan baik dalam bidang pemerintahan, ekonomi, maupun kemasyarakatan.

Dalam kurun waktu 1994–1999 secara kuantitatif jumlah wilayah pembantu gubernur tetap 5, kabupaten tetap 20, kota bertambah dari 5 pada tahun 1994 menjadi 8 pada tahun 1999. Kota administratif berkurang dari 6 menjadi 4, karena kotif Cilegon dan Depok pada tahun 1999 berubah status menjadi kota otonom. Dengan ditetapkannya UU No.23 Tahun 2000, wilayah administrasi pembantu gubernur wilayah I Banten resmi ditetapkan menjadi Propinsi Banten. Dengan demikian saat ini Jawa Barat terdiri dari 16 Daerah Kabupaten, 6 Daerah Kota, 447 Kecamatan, 5.347 Desa dan 399 Kelurahan.

Jawa Barat merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang memiliki alam dan pemandangan yang indah serta memiliki berbagai potensi yang dapat diberdayakan, antara lain menyangkut Sumber Daya Air, Sumber Daya Alam dan Pemanfaatan Lahan, Sumber Daya Hutan, Sumber Daya Pesisir dan Laut serta Sumber Daya Perekonomian.

Geografi

Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5°50' - 7°50' LS dan 104°48' - 104°48 BT dengan batas-batas wilayahnya sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa bagian barat dan DKI Jakarta di utara, sebelah timur berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah, antara Samudra Indonesia di Selatan dan Selat Sunda di barat. Dengan daratan dan pulau-pulau kecil (48 Pulau di Samudera Indonesia, 4 Pulau di Laut Jawa, 14 Pulau di Teluk Banten dan 20 Pulau di Selat Sunda), luas wilayah Jawa Barat 44.354,61 Km2 atau 4.435.461 Ha.

Kondisi geografis yang strategis ini merupakan keuntungan bagi daerah Jawa Barat terutama dari segi komunikasi dan perhubungan. Kawasan utara merupakan daerah berdatar rendah, sedangkan kawasan selatan berbukit-bukit dengan sedikit pantai serta dataran tinggi bergunung-gunung ada di kawasan tengah.

Topografi

Ciri utama daratan Jawa Barat adalah bagian dari busur kepulauan gunung api (aktif dan tidak aktif) yang membentang dari ujung utara Pulau Sumatera hingga ujung utara Pulau Sulawesi. Daratan dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam di selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut, wilayah lereng bukit yang landai di tengah ketinggian 100– 1.500 m dpl, wilayah dataran luas di utara ketinggian 0 –10 m dpl, dan wilayah aliran sungai.

Iklim

Iklim di Jawa Barat adalah tropis, dengan suhu 90 C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 0 C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun.

Populasi

Berdasarkan hasil Sensusnas tahun 1999 jumlah penduduk Jawa Barat setelah Banten terpisah berjumlah 34.555.622 jiwa. Pada tahun 2000 berdasarkan sensus penduduk meningkat menjadi 35.500.611 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 1.022 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk selama dasawasra 1990–2000 mencapai angka 2,17 %.


Sosial Budaya

Masyarakat Jawa Barat di kenal sebagai masyarakat yang agamis, dengan kekayaan warisan budaya dan nilai-nilai luhur tradisional, serta memiliki prilaku sosial yang berfalsafah pada silih asih, silih asah, silih asuh, yang secara harfiah berarti saling mengasihi, saling memberi pengetahuan dan saling mengasuh diantara warga masyarakat.

Tatanan kehidupannya lebih mengedepankan keharmonisan seperti tergambar pada pepatah; Herang Caina beunang laukna yang berarti menyelesikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru atau prinsip saling menguntungkan.

Masyarakat Jawa Barat memiliki komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebajikan. Hal ini terekspresikan pada pepatah ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan; yang berarti konsisten dan konsekuen terhadap kebenaran serta menyerasian antara hati nurani dan rasionalitas, seperti terkandung dalam pepatah sing katepi ku ati sing kahontal ku akal, yang berarti sebelum bertindak tetapkan dulu dalam hati dan pikiran secara seksama.

Jawa Barat dilihat dari aspek sumber daya manusia memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia dan sebagai Propinsi yang mempunyai proporsi penduduk dengan tingkat pendidikan, jumlah lulusan strata 1, strata 2 dan strata 3, terbanyak dibandingkan dengan propinsi lain.

Islam di Jawa Barat Pada Masa Kolonialisme


Belakangan, sejak akhir abad ke 6 (1596 M) ketika bangsa Indonesia telah dijajah oleh Belanda kaum muslimin dalam berbagai kesempatan dan di berbagai lokasi di Nusantara, termasuk wilayah Sunda, selalu mengadakan perlawanan. Perlawanan itu, bukan semata-mata karena Belanda selalu berbuat sewenang-wenang, menindas, memeras, mengadakan kerja paksa, dan menyengsarakan rakyat, tetapi juga karena Belanda ternyatabersembunyi dan ikut membonceng para misionaris Kristen yang bermaksud melakukan kristenisasi di wilayah Indonesia.

Penjajah Belanda bersama-sama missionaris dan zending dengan berbagai macam dalih juga telah mencoba dengan sengaja menghidup-hidupkan dan mengembangkan kembali kultur lokal, yang dikenal sebagai kultur kebatinan, yang dalam hal-hal tertentu secara laten sangat kontradiksi dengan kultur Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka orang-orang Islam yang dekat dengan penjajah Belanda, utamanya para penguasa pemerintahan yang berada di kekeratonan diusahakan supaya tidak terlalu fanatik atau lebih dari itu dilemahkan ke-Islam-annya. Dengan bahasa lain, penjajah Belanda telah menjadikan kaum muslimin Indonesia dicetak untuk menjadi penganut fanatik kebatinan atau fanatik abangan. Betapa seorang dokter, seperti Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917 M seorang pembangkit pertama semangat berorganisasi, lulusan sekolah kedokteran Jawa di Weltvreden (setelah tahun 1900 sekolah kedokteran itu dinamakan STOVIA telah bekerja sebagai seorang dokter pemerintahan di Yogyakarta hingga tahun 1899, sampai berani menyatakan bahwa: Sebagian penyebab kemero sotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam.

Secara historis, para penganut aliran kebatinan, --secara kebetulan-- seperti sangat dendam, atau bahkan sangat benci terhadap Islam. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh, kalau antara lain Amangkurat I (1645-1677 M) seorang raja di Surakarta, yang sangat kuat kebatinannya, pernah memerintahkan membunuh 4.000 orang ulama Islam, hanya karena kegigihan ulama-ulama Islam masa itu pada agamanya, lalu dianggap fanatik terhadap Islam.      

Kini aliran kebatinan itu telah berkembang lebih luas merambah dan merayap lebih banyak di kalangan masyarakat. Belakangan, bahkan telah membuat repot pemerintah, karena di mana-mana, dalam interaksi sosio-kultralnya, para penganut aliran kebatinan dengan umat Islam, selalu menimbulkan permasalahan, ganjalan, dan keresahan bahkan dalam skala tertentu telah menimbulkan konflik secara pisik. Konflik itu, antara lain justru di latar belakangi oleh adanya beberapa aktivitas penganut aliran kebatinan, yang dalam hal-hal tertentu dianggap telah menodai nilai-nilai Islam. Sebuah contoh kasus antara lain: Terjadi kericuhan di Subang, Sumedang, Bandung, dan Majalengka, hanya gara-gara para penganut AKP yang melakukan perkawinan dan perceraian, tetapi tidak sesuai dengan ajaran Islam Adapun, di Desa Paku Tandang di lokasi berkembangnya AKP, orang-orang AKP yang bersebelahan dengan mesjid Nurul Iman, para penganut AKP pernah berbuat ulah, antara lain pernah melempari mesjid Nurul Iman itu Tampaknya, belajar dari pengalaman semacam ini, lalu pemerintah membuat aturan, dan ketetapan bahwa aliran kebatinan adalah budaya, bukan agama, dan pembinaannya –pada masa itu-- berada di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Berangkat dari aturan dan keputusan pemerintah bahwa aliran kebatinan itu bukan agama, dan tidak boleh diagamakan, ditambah lagi dengan telah berkembangnya assumsi di kalangan masyarakat Indonesia bahwa aliran kebatinan itu adalah aliran Kejawen, tampaknya, secara praktis kaum muslimin baik atas nama institusi maupun individu, seperti tidak berperan lagi memberikan pembinaan, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai rohaniah, dalam bentuk mistik-spiritualistik terhadap para penganut aliran kebatinan --yang secara kebetulan sangat digemari oleh para penganut aliran kebatinan itu-- yang berkembang di lingkungan umat Islam.

Ada satu instansi pemerintah, yaitu Departemen Agama, dalam hal ini Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, yang selama ini secara strategis, mempunyai visi: Mewujudkan masyarakat Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, dan mengharapkan sikap itu terpancar pada perilaku sehari-hari masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; bahkan mempunyai misi: Meningkatkan bimbingan, pelayan an, dan perlindungan terhadap masyarakat Islam dalam menjalankan agama nya melalui pengembangan keluarga sakinah, peningkatan kesadaran hukum, kesadaran berzakat dan berwakaf, serta kemudahan pelaksanaan ibadah haji dan pemeliharaan haji mabrur secara teoritis, sepantasnya secara niscaya telah membuat kebijakan yang mengarahkan para penganut agama supaya membina orang-orang yang belum beragama, atau selainnya menjadi masyarakat penganut agama yang baik Tetapi, dalam tataran realitasnya, Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat juga belum secara khusus melakukan kegiatan peng-agama-an terhadap para penganut aliran kebatinan itu. Meskipun dalam program prioritasnya terdapat program peningkatan pemahaman dan pengamalan agama dan kerukunan hidup umat beragama.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI JAWA BARAT


Islam mulai berkembang di Jawa Barat sejak abad ke-13 M. dan telah berkembang ke seluruh Nusantara pada abad ke-16 M. Tokoh yang terkenal pertama kali mengembangkannya di Jawa Barat adalah Haji Purwa Galuh yang bermadzhab Syafi’i. Ia anak kedua seorang raja bernama Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Bunisora. Haji Purwa Galuh dianggap sebagai wali oleh orang-orang Sunda. Ia menjadi raja di kerajaan Sunda Galuh pada tahun 1357-1371 M. menggantikan kakaknya, Prabu Ningratwangi, adik Prabu Sri Baduga Maharaja yang gugur di Palagan Bubat. Tampaknya, Bunisora tak berhasil membangun kembali kebesaran kerajaan Galuh sepeninggal Prabu Ningratwangi, sehingga akhirnya banyak negara kecil bawahan, antara lain Kerajaan Patenggeng, mulai melepaskan kekuasaan politik kerajaan dengan memindahkan pusat pengabdiannya dari Kerajaan Galuh ke Kerajaan Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran.

Pada tahun 1416 M. terdapat satu armada angkatan laut dipimpin Laksamana Cheng Ho, alias Sam Po Tay yang muslim, menggadakan perjalanan ke Majapahit atas perintah Kaisar Cheng-tu atau Yunglo, kaisar dinasti Ming ketiga. Di dalamnya terdapat seorang ulama dari Campa bernama Syekh Hasanuddin dan anaknya, Syekh Bantong. Ketika armada itu singgah sebentar di Pelabuhan Muara Jati Cirebon untuk beristirahat selama satu minggu, Laksamana Cheng Ho berjumpa dengan penguasa pelabuhan, yaitu Ki Gedeng Jumajan, alias Ki Gedeng Tapa, putra bungsu Prabu Niskala Wastu Kancana. Prabu Niskala Wastu Kancana sendiri adalah adik ipar Haji Purwa Galuh karena menikahi adik Haji Purwa Galuh yang bernama Mayangsari. Di daerah ini, Syekh Hasanuddin yang bermadzhab Hanafi beserta rombongan santrinya turun dan atas seizin penguasa setempat, mereka mendirikan pondok pesantren pertama di Jawa Barat. Pondok pertama bernama Pondok Qurra. Nama ini sengaja diberikan sehubungan dengan Syekh Hasanuddin lebih mengutamakan pelajaran membaca al-Qur’an dalam pondok pesantrennya dibandingkan dengan pelajaran lain-lainnya.

Adapun Laksamana Cheng Ho dan Syekh Bantong tak lama kemudian melanjutkan perjalanan ke Gresik. Di sana Syekh Bantong, selain sebagai saudagar, juga sebagai guru Agama Islam. Dari istrinya Siu Te Yo, ia memiliki anak perempuan bernama Siu Ban Ci yang diperistri Prabu Kertabumi dari Kerajaan Majapahit. Hasil dari pernikahannya, lahirlah Jin Bun alias Praba. Ketika berguru agama Islam kepada Sunan Ampel, nama Jin Bun diganti menjadi Abdul Fatah. Belakangan ia terkenal sebagai seorang penguasa di daerah Demak dengan nama Raden Fatah, yang akhirnya dapat merebut kekuasaan ayahnya, raja Majapahit Sejak Raden Fatah menguasai kerajaan Majapahit, dewan wali mengadakan rapat dan menetapkan bahwa aliran mistik-spiritualistik yang menyamakan Tuhan dengan semua kekuatan alam secara resmi dilarang.

Tak lama kemudian, pondok pesantren Qurra kedua pun berdiri di kaki bukit Amparan Jati, Cirebon. Pondok pesantren ini dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi,  yang menikah dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh

Belakangan berkembang opini yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati, atau Syarif Hidayatullah, adalah orang yang pertama kali mengembangkan Islam di Jawa Barat atau wilayah Sunda. Padahal, Sunan Gunung Djati belakangan mengembangkan Islam di wilayah Sunda. Dalam kapasitasnya sebagai seorang penyiar agama Islam, ia berkelana mengembangkan Islam ke wilayah Banten. Karena dakwahnya Bupati Kawunganten, keturunan raja Pajajaran, pun masuk Islam. Di sana, Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan adik Bupati Pakunganten dan memperoleh putra bernama Pangeran Sabakingking, yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Banten.

Pada masa lalu daerah Tegal Alang-alang, dikenal bernama Lemah Wungkuk, tempat tinggal asli uwaknya (Pangeran Cakrabuana) yang letaknya kira-kira 5 kilometer sebelah selatan Desa Sembung-Pasambungan. Desa ini telah berkembang menjadi sebuah Pakuwuan. Belakangan Pakuwuan itu dikenal dengan istilah Caruban atau campuran. Karena daerah ini telah menjadi lokasi tempat berkumpulnya orang-orang dari beberapa ras dan etnik; seperti: Arab, Cina, Jawa, dan Sunda sendiri. Setelah daerah ini berkembang lebih luas lagi Pakuwuan Caruban berkembang menjadi Nagari Caruban Larang. Nagari Caruban Larang dipimpin oleh uwaknya, sekaligus mertuanya Syarif Hidayatullah sendiri. Sehingga ketika uwaknya itu wafat, Syarif Hidayatullah yang sedang berada di Banten, dipanggil pulang dan ditetapkan sebagai penguasa nagari sekaligus sebagai ulamanya.

Pada masa itu, di Nagari Caruban Larang ini, telah berdiri mesjid kecil tertua Jalagrahan atau Tajug pertama atas usaha uwaknya itu, sehingga mempermudah Syarif Hidayatullah mengembangkan agama Islam di daerah ini. Patut diketahui bahwa Rara Santang, ibu kandung Syarif Hidayatullah adalah saudaranya Rajasangsara Karena Rara Santang, Walang Sungsang, dan Rajasangsara adalah anak dari Sri Baduga Maharaja atau Sang Pamanahrasa atau Prabu Anom Jayadewata, menantu Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (kakak misan Haji Purwa Galuh) dari istri Subang Larang Oleh sebab itu secara historis, Syarif Hidayatullah, adalah cucu Sri Baduga Maha raja, Raja Pajajaran. Belakangan, pada tahun 1479 M setelah Nagari Caruban Larang berkembang lebih luas lagi, Syarif Hidayatullah yang didukung oleh para wali (Kamastu) pada masanya, dan diperkuat oleh pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah, saingan dagang Kerajaan Pajajaran telah menjadikan Nagari Caruban Larang yang telah berkembang menjadi Cirebon sebagai sebuah negara merdeka. Sekaligus dijadikan sebagai pusat pengembangan Islam Tampaknya, kedekatan Cirebon dengan Demak, bermula dari adanya perkawinan antara dua putra Syarif Hidayatullah dengan ke dua putri Raden Fatah, juga seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Ayu yang menikah dengan Patih Unus. Maka, sejak saat itu, kedua keluarga itu berhubungan sangat dekat, dan saling memberi kan bantuan

Pada mulanya, Sri Baduga Maharaja, raja di Pajajaran, kakek Syarif Hidayatullah sendiri tidak menyukai upaya Syarif Hidayatullah memerdeka kan daerah Cirebon, apalagi telah menjadikan daerah Cirebon sebagai pusat pengembangan Islam di wilayah Sunda, sehingga raja mengutus Tumeng gung Jagabaya beserta pasukannya, bahkan iapun telah mempersiapkan pasukan besarnya dan bermaksud akan mengatasinya. Ketidak setujuan Sri Baduga Maharaja, raja Pajajaran terhadap maksud Syarif Hidayatullah (cucunya) itu, sebenarnya bukan karena Syarif Hidayatullah dianggap akan merongrong kekuasaannya, tetapi lebih karena faktor politik Syarif Hidayatullah yang sangat erat berhubungan dengan kerajaan Demak. Tetapi atas nasehat Ki Purwagalih (Purohita atau Uwa Batara Lengser dalam ceritera Pantun pendeta tertinggi keraton, bahwa Syarif Hidayatullah adalah cucunya sendiri, juga pesan Prabu Niskala Wastu Kancana (mertuanya) bahwa di Kerajaan Pajajaran para warganya bebas memeluk agama apapun yang disukainya. Sehingga akhirnya, Sri Baduga Maharaja mengurungkan niatnya, lalu merestui berdirinya Cirebon sebagai sebuah negara merdeka, dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sendiri sebagai rajanya yang pertama Syarif Hidayatullah memerintah Cirebon antara 1479-568 M. Sejak tahun 1528-1552 M, pelaksana pemerintahan Cirebon telah ditangani oleh puteranya yang bernama Pangeran Pasarean. Dan sejak tahun 1552-1568 M, pelaksana pemerintahan Cirebon telah dipegang oleh Pangeran Fatahillah, menantunya.