Sunday, December 13, 2015

Jawa Barat sebagai Kawasan Tropis



Sejatinya, puji syukur kita panjatkan kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan Kepulauan Nusantara ini dengan berbagai kekayaan dan keindahan alamnya. Dan seperti yang sudah banyak diketahui umum, bahwa Indonesia merupakan wilayah yang dilintasi garis khatulistiwa, sehingga hanya dua musim saja yang berlaku di bumi pertiwi ini, termasuk di dalamnya wilayah Jawa Barat. Terbentuknya kedua musim itu dikarenakan terjadinya perubahan arah angin bertiup setiap enam bulan. Pada enam bulan pertama [Maret-Agustus], biasanya angin bertiup dari arah timur atau tenggara [Benua Australia]. Namun angin model ini tidak membawa uap air, sehingga tidak mendatangkan hujan. Pada enam bulan selanjutnya [September-Februari] angin bertiup dari arah barat [Daratan Asia] yang mengandung banyak uap air, sehingga turunlah hujan di kepulauan di wilayah Nusantara. Musim hujan di Jawa Barat berlangsung lebih lama dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. Tak heran jika angka rata-rata curah hujan mencapai 2.000 mm, bahkan di beberapa tempat bisa mencapai 3.000-5.000 mm [Garna, 1984: 12]. Bogor adalah contoh kota yang lebih sering diguyur hujan, sehingga kota itu dijuluki sebagai kota hujan.

Seorang ahli biologi dari Inggris, Alfred Russel Wallace pada tahun 1861 memberi kesaksian bahwa Jawa Barat merupakan wilayah yang banyak turun hujan. Tepatnya ketika Wallace memutuskan untuk meninggalkan wilayah Jawa Timur untuk kemudian mengunjungi Jawa Barat, dalam pengakuaannnya ia mengungkapkan, “... I then determined to leave East Java and try the more moist and luxurious districts at the western extremity of the islands,” [Wallace, 1902: 83] dan saat dirinya berada di Jawa Barat ia merasakan perbedaan suasana, sebagaiamana terungkap dalam tulisannya lebih lanjut, “...In the east of Java I had suffered from the intense heat and drought of the dry season…Here [West Java] I had got into the other extreme of damp, wet and cloudy weather, ...During the month which I spent in the interior of West Java, I never had a really hot fine day throughout. It rained almost every afternoon, or dense mist came down from the mountains, …” [Wallace, 1902: 87-88]. Biasanya, bulan Desember dan Januari merupakan bulan terbasah, sedangkan bulan Juli dan Agustus merupakan bulan terkering. Saat musim kemarau tiba, suhu udara mencapai titik terpanas pada tengah hari dan mencapai titik terdingin pada waktu tengah malam.

Ketika pulau-pulau di wilayah Indonesia bagian barat bersatu dengan daratan Asia dan pulau-pulau di ujung wilayah Indonesia bersatu dengan daratan Australia, di wilayah ini tumbuhlah beragam flora dan hiduplah bermacam binatang, disusul kemudian dengan hidupnya manusia. Makhluk-makhluk hidup tersebut datang dari arah psat daratan. Mengingat keberadaan lautan yang dalam, maka penyebaran makhluk hidup dari daratan Asia tidak bisa masuk ke arah timur. Tidak heran jika jenis flora, fauna, dan juga manusia beserta kebudayaannya memiliki perbedaan yang cukup mendasar antara wilayah Indonesia bagian barat dengan wilayah Indonesai bagian timur. Kedua wilayah tersebut dibatasi oleh garis Wallace, garis weber, dan garis Huxley. Pada waktu  pulaua-pulau itu terpisah lagi dengan induknya[masa interglasial], maka kehidupan makhluk hidup yang berkembang di masing-masing wilayah menyesaikan diri dengan kondisi lokal. [Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, I, 1984: 36-37].

Kondisi tanah yang ada di ilayah Jawa Barat pada umumnya, mengandung endapan alluvial dan debu vulkanis yang bisa menyuburkan berbagai jenis tanaman dan tumbuhan, baik tanaman peliharaan seperti pertanian maupun tumbuhan liar berupa hutan. Alfred Russel Wallace merupakan salah seorang saksi yang bisa dimintai keterangannya seputar berbagai jenis tanaman yang biasa tumbuh di daerah tropis sampai jenis tanaman yang biasa tumbuh di kawasan dingin seperti di Eropa. Keterangan yang dimilikinya merupakan hasil ekspedisi yang ia lakukan dari Bogor hingga puncak Gunung Pangrango guna mengobservasi dan mengumpulkan contoh segala jenis flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di wilayah tersebut. Lagi-lagi Kebun Raya Bogor mrupakan bukti nyata bahwa hampir semua tanaman tropis dapat tumbuh dengan subur. Kebun di kompleks Istana Cipanas-Cianjur bukti lain yang tak terbantahkan bahwa sejumlah tanaman dan sayuran Eropa bisa tumbuh subur di situ.

Selain itu, hutan lebat yang tampak sepanjang jalan ditumbuhi aneka jenis pohon, mulai dari yang berukuran kecil [seperi lumut, anggrek] hingga yang berukuran besar [seperti rasamala, beringin] dan mulai dari yang tumbuh di dataran rendah hingga yang tumbuh di puncak gunung pada ketinggian 8.000 kaki lebih. Berbagai jenis tanamam yang tumbuh di sekitar Gunung Gede saja, tak kurang dari 300 jenis tanaman tumbuh dengan suburnya [Wallace, 1902: 85, 89-90]. Dalam rangkaian periode sejarah Jawa Barat tercatat beberapa jenis tanaman yang berkembang luas sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sebut saja tarum [indigo], padi, dan lada yang berkembang sampai abad XVII. Kopi, teh, kina, karet, tebu, kelapa sampai awal abad XX. Perkembangan mutkahir jenis-jenis tanaman seperti padi, teh, karet, kelapa, tebu, kelapa sawit, cokelat, dan sejumlah tanaman sayuran mempunyai nilai ekonomi tinggi di Jawa Barat. Sementara itu, jenis pohon berukuran besar yang dimanfatakan kayunya cukup berperan pula dalam kehidupan ekonomi masyarakat Jawa Barat. Bahkan pada awal abad ke-16 Masehi diberitakan oleh Tome’ Pires bahwa pesisir di wilayah Sunda banyak dijumpai pohon yang besar dan tinggi. Misalnya, pohon-pohon yang tumbuh di kiri-kanan pinggir Sungai Cimanuk yang dahan-dahan bagian atasnya bersentuhan, sehingga seolah-olah sungai itu bersatu [Cortesao, 1944: 166-168] dan juga adanya jenis kayu yang dihasilkan dari daerah Cirebon berkualitas tinggi untuk bahan pembuatan kapal laut. Kayu-kayu tersebut diekspor dari pelabuhan Cirebon [Cortesao, 1944: 183]

Areal hutan di wilayah Jawa Barat makin lama berkurang. Pengurangan luas areal hutan itu makin lama makin luas sejak dipergunakan untuk lahan perkebunan, pertanian [sawah dan ladang], pemukiman,dan industri serta diperlukan kayunya untuk bahan bangunan dan lain-lain. Hingga pada awal 1973 hutan di wilayah Jawa Barat luasnya, hanya tersisa 468.018,7 ha untuk hutan lebat, sedangkan untuk hutan sejenis dan hutan belukar tingal 567.036,6 ha saja [Direktorat Tata Guna Tanah, 1973: 7-8]. Fenomena ini menghasilkan banyak hutan gundul yang sering mengakibatkan banjir pada musim hujan karena air hujan tidak terserap oleh tanah dan pepohonan. Sebaliknya, pada musim kemarau terjadi kekeringan karena kekurangan air, sebab tidak ada persediaan air yang biasanya disimpan dalam hutan. Dalam pada itu, lapisan tanah bagian atasyang subur mudah trkikis oleh air hujan [erosi] yang berakibat hilangnya kesuburan tanah. Semua akibat tersebut sudah dan akan terus mendatangkan malapetaka dan penderitaan bagi kehidupan makhluk hidup, jika tak cepat melakukan antisipasi untuk menjaga kelestarian alam.

Seiring dengan tumbuhnya aneka macam tanaman, di wilayah Jawa Barat hidup pula berbagai jenis binatang [fauna], seperti serangga, burung, binatang melata, binatang menyusui, ikan. Nama Jawa Barat menjadi lebih terkenal di dunia internasional karena di daerah ini hidup binatang badak bercula satu yang keberadaannya kini hampir punah akibat ulah manusia. Kini binatang raksasa itu hanya bisa hidup di kawasan cagar alam Ujung Kulon. Jenis binatang lain yang punya kaitan erat dengan kehidupan sosial budaya di Jawa Barat adalah harimau, lutung, kera, kura-kura, buaya, kancil, kuda, kerbau, banteng,anjing, babi, burung beo, kucing, tikus, kupu-kupu, ulat, buruugn betet, burung tekukur, burung kutilang, ular sanca, danlain-lain. Menurut Alfred Russel Wallace, semuua jenis burung dan serangga yang khas Pulau jawa ditemukan di Jawa Barat dalam bjumlah yang banyak. Ia sendiri dalam jangka waktu satu minggu berhasil menangkap dan mengumpulkan tidak kurang dari 24 jenis burung yang tidak ditemukan di Jawa Timur, selanjutnya bertambah menjadi 40 jenis. Ia pun menemukan dan mengumpulkan berbagai jenis serangga dan kupu-kupu dari wilayah ini [Walaace, 1902: 86-87].

No comments:

Post a Comment