Sunday, December 13, 2015

Islam di Jawa Barat Pada Masa Kolonialisme


Belakangan, sejak akhir abad ke 6 (1596 M) ketika bangsa Indonesia telah dijajah oleh Belanda kaum muslimin dalam berbagai kesempatan dan di berbagai lokasi di Nusantara, termasuk wilayah Sunda, selalu mengadakan perlawanan. Perlawanan itu, bukan semata-mata karena Belanda selalu berbuat sewenang-wenang, menindas, memeras, mengadakan kerja paksa, dan menyengsarakan rakyat, tetapi juga karena Belanda ternyatabersembunyi dan ikut membonceng para misionaris Kristen yang bermaksud melakukan kristenisasi di wilayah Indonesia.

Penjajah Belanda bersama-sama missionaris dan zending dengan berbagai macam dalih juga telah mencoba dengan sengaja menghidup-hidupkan dan mengembangkan kembali kultur lokal, yang dikenal sebagai kultur kebatinan, yang dalam hal-hal tertentu secara laten sangat kontradiksi dengan kultur Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka orang-orang Islam yang dekat dengan penjajah Belanda, utamanya para penguasa pemerintahan yang berada di kekeratonan diusahakan supaya tidak terlalu fanatik atau lebih dari itu dilemahkan ke-Islam-annya. Dengan bahasa lain, penjajah Belanda telah menjadikan kaum muslimin Indonesia dicetak untuk menjadi penganut fanatik kebatinan atau fanatik abangan. Betapa seorang dokter, seperti Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917 M seorang pembangkit pertama semangat berorganisasi, lulusan sekolah kedokteran Jawa di Weltvreden (setelah tahun 1900 sekolah kedokteran itu dinamakan STOVIA telah bekerja sebagai seorang dokter pemerintahan di Yogyakarta hingga tahun 1899, sampai berani menyatakan bahwa: Sebagian penyebab kemero sotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam.

Secara historis, para penganut aliran kebatinan, --secara kebetulan-- seperti sangat dendam, atau bahkan sangat benci terhadap Islam. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh, kalau antara lain Amangkurat I (1645-1677 M) seorang raja di Surakarta, yang sangat kuat kebatinannya, pernah memerintahkan membunuh 4.000 orang ulama Islam, hanya karena kegigihan ulama-ulama Islam masa itu pada agamanya, lalu dianggap fanatik terhadap Islam.      

Kini aliran kebatinan itu telah berkembang lebih luas merambah dan merayap lebih banyak di kalangan masyarakat. Belakangan, bahkan telah membuat repot pemerintah, karena di mana-mana, dalam interaksi sosio-kultralnya, para penganut aliran kebatinan dengan umat Islam, selalu menimbulkan permasalahan, ganjalan, dan keresahan bahkan dalam skala tertentu telah menimbulkan konflik secara pisik. Konflik itu, antara lain justru di latar belakangi oleh adanya beberapa aktivitas penganut aliran kebatinan, yang dalam hal-hal tertentu dianggap telah menodai nilai-nilai Islam. Sebuah contoh kasus antara lain: Terjadi kericuhan di Subang, Sumedang, Bandung, dan Majalengka, hanya gara-gara para penganut AKP yang melakukan perkawinan dan perceraian, tetapi tidak sesuai dengan ajaran Islam Adapun, di Desa Paku Tandang di lokasi berkembangnya AKP, orang-orang AKP yang bersebelahan dengan mesjid Nurul Iman, para penganut AKP pernah berbuat ulah, antara lain pernah melempari mesjid Nurul Iman itu Tampaknya, belajar dari pengalaman semacam ini, lalu pemerintah membuat aturan, dan ketetapan bahwa aliran kebatinan adalah budaya, bukan agama, dan pembinaannya –pada masa itu-- berada di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Berangkat dari aturan dan keputusan pemerintah bahwa aliran kebatinan itu bukan agama, dan tidak boleh diagamakan, ditambah lagi dengan telah berkembangnya assumsi di kalangan masyarakat Indonesia bahwa aliran kebatinan itu adalah aliran Kejawen, tampaknya, secara praktis kaum muslimin baik atas nama institusi maupun individu, seperti tidak berperan lagi memberikan pembinaan, khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai rohaniah, dalam bentuk mistik-spiritualistik terhadap para penganut aliran kebatinan --yang secara kebetulan sangat digemari oleh para penganut aliran kebatinan itu-- yang berkembang di lingkungan umat Islam.

Ada satu instansi pemerintah, yaitu Departemen Agama, dalam hal ini Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, yang selama ini secara strategis, mempunyai visi: Mewujudkan masyarakat Islam yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia, dan mengharapkan sikap itu terpancar pada perilaku sehari-hari masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; bahkan mempunyai misi: Meningkatkan bimbingan, pelayan an, dan perlindungan terhadap masyarakat Islam dalam menjalankan agama nya melalui pengembangan keluarga sakinah, peningkatan kesadaran hukum, kesadaran berzakat dan berwakaf, serta kemudahan pelaksanaan ibadah haji dan pemeliharaan haji mabrur secara teoritis, sepantasnya secara niscaya telah membuat kebijakan yang mengarahkan para penganut agama supaya membina orang-orang yang belum beragama, atau selainnya menjadi masyarakat penganut agama yang baik Tetapi, dalam tataran realitasnya, Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat juga belum secara khusus melakukan kegiatan peng-agama-an terhadap para penganut aliran kebatinan itu. Meskipun dalam program prioritasnya terdapat program peningkatan pemahaman dan pengamalan agama dan kerukunan hidup umat beragama.

No comments:

Post a Comment