Belakangan, sejak akhir abad ke 6 (1596 M) ketika bangsa Indonesia telah
dijajah oleh Belanda kaum muslimin dalam berbagai kesempatan dan di berbagai
lokasi di Nusantara, termasuk wilayah Sunda, selalu mengadakan perlawanan. Perlawanan itu, bukan semata-mata karena
Belanda selalu berbuat sewenang-wenang, menindas, memeras, mengadakan kerja
paksa, dan menyengsarakan rakyat, tetapi juga karena Belanda
ternyatabersembunyi dan ikut membonceng para misionaris Kristen yang bermaksud
melakukan kristenisasi di wilayah Indonesia.
Penjajah
Belanda bersama-sama missionaris dan zending dengan berbagai macam dalih juga
telah mencoba dengan sengaja menghidup-hidupkan dan mengembangkan kembali
kultur lokal, yang dikenal sebagai kultur kebatinan, yang dalam hal-hal
tertentu secara laten sangat kontradiksi dengan kultur Islam. Berkaitan dengan
hal ini, maka orang-orang Islam yang dekat dengan penjajah Belanda, utamanya
para penguasa pemerintahan yang berada di kekeratonan diusahakan supaya tidak
terlalu fanatik atau lebih dari itu dilemahkan ke-Islam-annya. Dengan bahasa
lain, penjajah Belanda telah menjadikan kaum muslimin Indonesia dicetak untuk
menjadi penganut fanatik kebatinan atau fanatik abangan. Betapa seorang dokter,
seperti Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917 M seorang pembangkit pertama semangat
berorganisasi, lulusan sekolah kedokteran Jawa di Weltvreden (setelah tahun
1900 sekolah kedokteran itu dinamakan STOVIA telah bekerja sebagai seorang
dokter pemerintahan di Yogyakarta hingga tahun 1899, sampai berani menyatakan
bahwa: Sebagian penyebab kemero sotan masyarakat Jawa adalah kedatangan
agama Islam.
Secara
historis, para penganut aliran kebatinan, --secara kebetulan-- seperti sangat
dendam, atau bahkan sangat benci terhadap Islam. Oleh sebab itu, bukan
merupakan hal yang aneh, kalau antara lain Amangkurat I (1645-1677 M) seorang
raja di Surakarta, yang sangat kuat kebatinannya, pernah memerintahkan membunuh
4.000 orang ulama Islam, hanya karena kegigihan ulama-ulama Islam masa itu pada
agamanya, lalu dianggap fanatik terhadap Islam.
Kini aliran
kebatinan itu telah berkembang lebih luas merambah dan merayap lebih banyak di
kalangan masyarakat. Belakangan, bahkan telah membuat repot pemerintah, karena
di mana-mana, dalam interaksi sosio-kultralnya, para penganut aliran kebatinan
dengan umat Islam, selalu menimbulkan permasalahan, ganjalan, dan keresahan
bahkan dalam skala tertentu telah menimbulkan konflik secara pisik. Konflik
itu, antara lain justru di latar belakangi oleh adanya beberapa aktivitas
penganut aliran kebatinan, yang dalam hal-hal tertentu dianggap telah menodai
nilai-nilai Islam. Sebuah contoh kasus antara lain: Terjadi kericuhan di
Subang, Sumedang, Bandung, dan Majalengka, hanya gara-gara para penganut AKP
yang melakukan perkawinan dan perceraian, tetapi tidak sesuai dengan ajaran
Islam Adapun, di Desa Paku Tandang di lokasi berkembangnya AKP, orang-orang AKP
yang bersebelahan dengan mesjid Nurul Iman, para penganut AKP pernah berbuat
ulah, antara lain pernah melempari mesjid Nurul Iman itu Tampaknya, belajar
dari pengalaman semacam ini, lalu pemerintah membuat aturan, dan ketetapan
bahwa aliran kebatinan adalah budaya, bukan agama, dan pembinaannya –pada masa
itu-- berada di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Berangkat dari aturan dan
keputusan pemerintah bahwa aliran kebatinan itu bukan agama, dan tidak boleh
diagamakan, ditambah lagi dengan telah berkembangnya assumsi di kalangan
masyarakat Indonesia bahwa aliran kebatinan itu adalah aliran Kejawen,
tampaknya, secara praktis kaum muslimin baik atas nama institusi maupun
individu, seperti tidak berperan lagi memberikan pembinaan, khususnya yang
berkaitan dengan nilai-nilai rohaniah, dalam bentuk mistik-spiritualistik
terhadap para penganut aliran kebatinan --yang secara kebetulan sangat digemari
oleh para penganut aliran kebatinan itu-- yang berkembang di lingkungan umat
Islam.
Ada satu instansi pemerintah, yaitu Departemen Agama, dalam hal ini Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat, yang selama ini secara strategis,
mempunyai visi: Mewujudkan masyarakat Islam yang beriman, bertaqwa, dan
berakhlak mulia, dan mengharapkan sikap itu terpancar pada perilaku sehari-hari
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; bahkan mempunyai misi:
Meningkatkan bimbingan, pelayan an, dan perlindungan terhadap masyarakat Islam
dalam menjalankan agama nya melalui pengembangan keluarga sakinah, peningkatan
kesadaran hukum, kesadaran berzakat dan berwakaf, serta kemudahan pelaksanaan
ibadah haji dan pemeliharaan haji mabrur secara teoritis, sepantasnya secara
niscaya telah membuat kebijakan yang mengarahkan para penganut agama supaya
membina orang-orang yang belum beragama, atau selainnya menjadi masyarakat
penganut agama yang baik Tetapi, dalam tataran realitasnya, Kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi Jawa Barat juga belum secara khusus melakukan
kegiatan peng-agama-an terhadap para penganut aliran kebatinan itu. Meskipun dalam program prioritasnya terdapat
program peningkatan pemahaman dan pengamalan agama dan kerukunan hidup umat
beragama.
No comments:
Post a Comment