Sunday, December 13, 2015

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ISLAM DI JAWA BARAT


Islam mulai berkembang di Jawa Barat sejak abad ke-13 M. dan telah berkembang ke seluruh Nusantara pada abad ke-16 M. Tokoh yang terkenal pertama kali mengembangkannya di Jawa Barat adalah Haji Purwa Galuh yang bermadzhab Syafi’i. Ia anak kedua seorang raja bernama Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Bunisora. Haji Purwa Galuh dianggap sebagai wali oleh orang-orang Sunda. Ia menjadi raja di kerajaan Sunda Galuh pada tahun 1357-1371 M. menggantikan kakaknya, Prabu Ningratwangi, adik Prabu Sri Baduga Maharaja yang gugur di Palagan Bubat. Tampaknya, Bunisora tak berhasil membangun kembali kebesaran kerajaan Galuh sepeninggal Prabu Ningratwangi, sehingga akhirnya banyak negara kecil bawahan, antara lain Kerajaan Patenggeng, mulai melepaskan kekuasaan politik kerajaan dengan memindahkan pusat pengabdiannya dari Kerajaan Galuh ke Kerajaan Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran.

Pada tahun 1416 M. terdapat satu armada angkatan laut dipimpin Laksamana Cheng Ho, alias Sam Po Tay yang muslim, menggadakan perjalanan ke Majapahit atas perintah Kaisar Cheng-tu atau Yunglo, kaisar dinasti Ming ketiga. Di dalamnya terdapat seorang ulama dari Campa bernama Syekh Hasanuddin dan anaknya, Syekh Bantong. Ketika armada itu singgah sebentar di Pelabuhan Muara Jati Cirebon untuk beristirahat selama satu minggu, Laksamana Cheng Ho berjumpa dengan penguasa pelabuhan, yaitu Ki Gedeng Jumajan, alias Ki Gedeng Tapa, putra bungsu Prabu Niskala Wastu Kancana. Prabu Niskala Wastu Kancana sendiri adalah adik ipar Haji Purwa Galuh karena menikahi adik Haji Purwa Galuh yang bernama Mayangsari. Di daerah ini, Syekh Hasanuddin yang bermadzhab Hanafi beserta rombongan santrinya turun dan atas seizin penguasa setempat, mereka mendirikan pondok pesantren pertama di Jawa Barat. Pondok pertama bernama Pondok Qurra. Nama ini sengaja diberikan sehubungan dengan Syekh Hasanuddin lebih mengutamakan pelajaran membaca al-Qur’an dalam pondok pesantrennya dibandingkan dengan pelajaran lain-lainnya.

Adapun Laksamana Cheng Ho dan Syekh Bantong tak lama kemudian melanjutkan perjalanan ke Gresik. Di sana Syekh Bantong, selain sebagai saudagar, juga sebagai guru Agama Islam. Dari istrinya Siu Te Yo, ia memiliki anak perempuan bernama Siu Ban Ci yang diperistri Prabu Kertabumi dari Kerajaan Majapahit. Hasil dari pernikahannya, lahirlah Jin Bun alias Praba. Ketika berguru agama Islam kepada Sunan Ampel, nama Jin Bun diganti menjadi Abdul Fatah. Belakangan ia terkenal sebagai seorang penguasa di daerah Demak dengan nama Raden Fatah, yang akhirnya dapat merebut kekuasaan ayahnya, raja Majapahit Sejak Raden Fatah menguasai kerajaan Majapahit, dewan wali mengadakan rapat dan menetapkan bahwa aliran mistik-spiritualistik yang menyamakan Tuhan dengan semua kekuatan alam secara resmi dilarang.

Tak lama kemudian, pondok pesantren Qurra kedua pun berdiri di kaki bukit Amparan Jati, Cirebon. Pondok pesantren ini dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi,  yang menikah dengan Hadijah, cucu Haji Purwa Galuh

Belakangan berkembang opini yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati, atau Syarif Hidayatullah, adalah orang yang pertama kali mengembangkan Islam di Jawa Barat atau wilayah Sunda. Padahal, Sunan Gunung Djati belakangan mengembangkan Islam di wilayah Sunda. Dalam kapasitasnya sebagai seorang penyiar agama Islam, ia berkelana mengembangkan Islam ke wilayah Banten. Karena dakwahnya Bupati Kawunganten, keturunan raja Pajajaran, pun masuk Islam. Di sana, Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan adik Bupati Pakunganten dan memperoleh putra bernama Pangeran Sabakingking, yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Banten.

Pada masa lalu daerah Tegal Alang-alang, dikenal bernama Lemah Wungkuk, tempat tinggal asli uwaknya (Pangeran Cakrabuana) yang letaknya kira-kira 5 kilometer sebelah selatan Desa Sembung-Pasambungan. Desa ini telah berkembang menjadi sebuah Pakuwuan. Belakangan Pakuwuan itu dikenal dengan istilah Caruban atau campuran. Karena daerah ini telah menjadi lokasi tempat berkumpulnya orang-orang dari beberapa ras dan etnik; seperti: Arab, Cina, Jawa, dan Sunda sendiri. Setelah daerah ini berkembang lebih luas lagi Pakuwuan Caruban berkembang menjadi Nagari Caruban Larang. Nagari Caruban Larang dipimpin oleh uwaknya, sekaligus mertuanya Syarif Hidayatullah sendiri. Sehingga ketika uwaknya itu wafat, Syarif Hidayatullah yang sedang berada di Banten, dipanggil pulang dan ditetapkan sebagai penguasa nagari sekaligus sebagai ulamanya.

Pada masa itu, di Nagari Caruban Larang ini, telah berdiri mesjid kecil tertua Jalagrahan atau Tajug pertama atas usaha uwaknya itu, sehingga mempermudah Syarif Hidayatullah mengembangkan agama Islam di daerah ini. Patut diketahui bahwa Rara Santang, ibu kandung Syarif Hidayatullah adalah saudaranya Rajasangsara Karena Rara Santang, Walang Sungsang, dan Rajasangsara adalah anak dari Sri Baduga Maharaja atau Sang Pamanahrasa atau Prabu Anom Jayadewata, menantu Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (kakak misan Haji Purwa Galuh) dari istri Subang Larang Oleh sebab itu secara historis, Syarif Hidayatullah, adalah cucu Sri Baduga Maha raja, Raja Pajajaran. Belakangan, pada tahun 1479 M setelah Nagari Caruban Larang berkembang lebih luas lagi, Syarif Hidayatullah yang didukung oleh para wali (Kamastu) pada masanya, dan diperkuat oleh pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah, saingan dagang Kerajaan Pajajaran telah menjadikan Nagari Caruban Larang yang telah berkembang menjadi Cirebon sebagai sebuah negara merdeka. Sekaligus dijadikan sebagai pusat pengembangan Islam Tampaknya, kedekatan Cirebon dengan Demak, bermula dari adanya perkawinan antara dua putra Syarif Hidayatullah dengan ke dua putri Raden Fatah, juga seorang putri Syarif Hidayatullah, Ratu Ayu yang menikah dengan Patih Unus. Maka, sejak saat itu, kedua keluarga itu berhubungan sangat dekat, dan saling memberi kan bantuan

Pada mulanya, Sri Baduga Maharaja, raja di Pajajaran, kakek Syarif Hidayatullah sendiri tidak menyukai upaya Syarif Hidayatullah memerdeka kan daerah Cirebon, apalagi telah menjadikan daerah Cirebon sebagai pusat pengembangan Islam di wilayah Sunda, sehingga raja mengutus Tumeng gung Jagabaya beserta pasukannya, bahkan iapun telah mempersiapkan pasukan besarnya dan bermaksud akan mengatasinya. Ketidak setujuan Sri Baduga Maharaja, raja Pajajaran terhadap maksud Syarif Hidayatullah (cucunya) itu, sebenarnya bukan karena Syarif Hidayatullah dianggap akan merongrong kekuasaannya, tetapi lebih karena faktor politik Syarif Hidayatullah yang sangat erat berhubungan dengan kerajaan Demak. Tetapi atas nasehat Ki Purwagalih (Purohita atau Uwa Batara Lengser dalam ceritera Pantun pendeta tertinggi keraton, bahwa Syarif Hidayatullah adalah cucunya sendiri, juga pesan Prabu Niskala Wastu Kancana (mertuanya) bahwa di Kerajaan Pajajaran para warganya bebas memeluk agama apapun yang disukainya. Sehingga akhirnya, Sri Baduga Maharaja mengurungkan niatnya, lalu merestui berdirinya Cirebon sebagai sebuah negara merdeka, dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sendiri sebagai rajanya yang pertama Syarif Hidayatullah memerintah Cirebon antara 1479-568 M. Sejak tahun 1528-1552 M, pelaksana pemerintahan Cirebon telah ditangani oleh puteranya yang bernama Pangeran Pasarean. Dan sejak tahun 1552-1568 M, pelaksana pemerintahan Cirebon telah dipegang oleh Pangeran Fatahillah, menantunya.

No comments:

Post a Comment