Islam mulai
berkembang di Jawa Barat sejak abad ke-13 M. dan telah berkembang ke seluruh
Nusantara pada abad ke-16 M. Tokoh yang terkenal pertama kali mengembangkannya
di Jawa Barat adalah Haji Purwa Galuh yang bermadzhab Syafi’i. Ia anak kedua
seorang raja bernama Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Bunisora.
Haji Purwa Galuh dianggap sebagai wali oleh orang-orang Sunda. Ia
menjadi raja di kerajaan Sunda Galuh pada tahun 1357-1371 M. menggantikan
kakaknya, Prabu Ningratwangi, adik Prabu Sri Baduga Maharaja yang gugur di
Palagan Bubat. Tampaknya, Bunisora tak berhasil membangun kembali kebesaran
kerajaan Galuh sepeninggal Prabu Ningratwangi, sehingga akhirnya banyak negara
kecil bawahan, antara lain Kerajaan Patenggeng, mulai melepaskan kekuasaan
politik kerajaan dengan memindahkan pusat pengabdiannya dari Kerajaan Galuh ke
Kerajaan Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran.
Pada tahun
1416 M. terdapat satu armada angkatan laut dipimpin Laksamana Cheng Ho, alias
Sam Po Tay yang muslim, menggadakan perjalanan ke Majapahit atas perintah
Kaisar Cheng-tu atau Yunglo, kaisar dinasti Ming ketiga. Di dalamnya terdapat
seorang ulama dari Campa bernama Syekh Hasanuddin dan anaknya, Syekh Bantong.
Ketika armada itu singgah sebentar di Pelabuhan Muara Jati Cirebon untuk
beristirahat selama satu minggu, Laksamana Cheng Ho berjumpa dengan penguasa
pelabuhan, yaitu Ki Gedeng Jumajan, alias Ki Gedeng Tapa, putra bungsu Prabu
Niskala Wastu Kancana. Prabu Niskala Wastu Kancana sendiri adalah adik ipar
Haji Purwa Galuh karena menikahi adik Haji Purwa Galuh yang bernama Mayangsari.
Di daerah ini, Syekh Hasanuddin yang bermadzhab Hanafi beserta rombongan
santrinya turun dan atas seizin penguasa setempat, mereka mendirikan pondok
pesantren pertama di Jawa Barat. Pondok pertama bernama Pondok Qurra. Nama
ini sengaja diberikan sehubungan dengan Syekh Hasanuddin lebih mengutamakan
pelajaran membaca al-Qur’an dalam pondok pesantrennya dibandingkan dengan
pelajaran lain-lainnya.
Adapun
Laksamana Cheng Ho dan Syekh Bantong tak lama kemudian melanjutkan perjalanan
ke Gresik. Di sana Syekh Bantong, selain sebagai saudagar, juga sebagai guru
Agama Islam. Dari istrinya Siu Te Yo, ia memiliki anak perempuan bernama Siu
Ban Ci yang diperistri Prabu Kertabumi dari Kerajaan Majapahit. Hasil dari
pernikahannya, lahirlah Jin Bun alias Praba. Ketika berguru agama Islam kepada
Sunan Ampel, nama Jin Bun diganti menjadi Abdul Fatah. Belakangan ia terkenal
sebagai seorang penguasa di daerah Demak dengan nama Raden Fatah, yang akhirnya
dapat merebut kekuasaan ayahnya, raja Majapahit Sejak Raden Fatah menguasai
kerajaan Majapahit, dewan wali mengadakan rapat dan menetapkan bahwa aliran
mistik-spiritualistik yang menyamakan Tuhan dengan semua kekuatan alam secara
resmi dilarang.
Tak lama
kemudian, pondok pesantren Qurra kedua pun berdiri di kaki bukit Amparan
Jati, Cirebon. Pondok pesantren ini dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi, yang menikah dengan Hadijah, cucu Haji Purwa
Galuh
Belakangan berkembang opini yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati, atau
Syarif Hidayatullah, adalah orang yang pertama kali mengembangkan Islam di Jawa
Barat atau wilayah Sunda. Padahal, Sunan
Gunung Djati belakangan mengembangkan Islam di wilayah Sunda. Dalam
kapasitasnya sebagai seorang penyiar agama Islam, ia berkelana mengembangkan
Islam ke wilayah Banten. Karena dakwahnya Bupati Kawunganten, keturunan raja
Pajajaran, pun masuk Islam. Di sana, Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan adik
Bupati Pakunganten dan memperoleh putra bernama Pangeran Sabakingking, yang
kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin, pendiri Kerajaan Banten.
Pada masa lalu
daerah Tegal Alang-alang, dikenal bernama Lemah Wungkuk, tempat tinggal asli
uwaknya (Pangeran Cakrabuana) yang letaknya kira-kira 5 kilometer sebelah
selatan Desa Sembung-Pasambungan. Desa ini telah berkembang menjadi sebuah Pakuwuan.
Belakangan Pakuwuan itu dikenal dengan istilah Caruban atau
campuran. Karena daerah ini telah menjadi lokasi tempat berkumpulnya
orang-orang dari beberapa ras dan etnik; seperti: Arab, Cina, Jawa, dan Sunda
sendiri. Setelah daerah ini berkembang lebih luas lagi Pakuwuan Caruban berkembang
menjadi Nagari Caruban Larang. Nagari Caruban Larang dipimpin oleh
uwaknya, sekaligus mertuanya Syarif Hidayatullah sendiri. Sehingga ketika
uwaknya itu wafat, Syarif Hidayatullah yang sedang berada di Banten, dipanggil
pulang dan ditetapkan sebagai penguasa nagari sekaligus sebagai ulamanya.
Pada masa itu, di Nagari Caruban Larang ini, telah berdiri mesjid kecil
tertua Jalagrahan atau Tajug pertama atas usaha uwaknya itu, sehingga
mempermudah Syarif Hidayatullah mengembangkan agama Islam di daerah ini. Patut
diketahui bahwa Rara Santang, ibu kandung Syarif Hidayatullah adalah saudaranya
Rajasangsara Karena Rara Santang, Walang Sungsang, dan Rajasangsara adalah anak
dari Sri Baduga Maharaja atau Sang Pamanahrasa atau Prabu Anom Jayadewata,
menantu Mahaprabu Niskala Wastu Kancana (kakak misan Haji Purwa Galuh) dari
istri Subang Larang Oleh sebab itu secara historis, Syarif Hidayatullah, adalah
cucu Sri Baduga Maha raja, Raja Pajajaran. Belakangan, pada tahun 1479 M setelah Nagari Caruban Larang
berkembang lebih luas lagi, Syarif Hidayatullah yang didukung oleh para wali (Kamastu)
pada masanya, dan diperkuat oleh pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh
Raden Fatah, saingan dagang Kerajaan Pajajaran telah menjadikan Nagari Caruban
Larang yang telah berkembang menjadi Cirebon sebagai sebuah negara
merdeka. Sekaligus dijadikan sebagai pusat pengembangan Islam Tampaknya,
kedekatan Cirebon dengan Demak, bermula dari adanya perkawinan antara dua putra
Syarif Hidayatullah dengan ke dua putri Raden Fatah, juga seorang putri Syarif
Hidayatullah, Ratu Ayu yang menikah dengan Patih Unus. Maka, sejak saat itu,
kedua keluarga itu berhubungan sangat dekat, dan saling memberi kan bantuan
Pada mulanya, Sri Baduga Maharaja, raja di Pajajaran, kakek Syarif
Hidayatullah sendiri tidak menyukai upaya Syarif Hidayatullah memerdeka kan
daerah Cirebon, apalagi telah menjadikan daerah Cirebon sebagai pusat
pengembangan Islam di wilayah Sunda, sehingga raja mengutus Tumeng gung
Jagabaya beserta pasukannya, bahkan iapun telah mempersiapkan pasukan besarnya
dan bermaksud akan mengatasinya. Ketidak
setujuan Sri Baduga Maharaja, raja Pajajaran terhadap maksud Syarif
Hidayatullah (cucunya) itu, sebenarnya bukan karena Syarif Hidayatullah
dianggap akan merongrong kekuasaannya, tetapi lebih karena faktor politik
Syarif Hidayatullah yang sangat erat berhubungan dengan kerajaan Demak. Tetapi
atas nasehat Ki Purwagalih (Purohita atau Uwa Batara Lengser dalam ceritera
Pantun pendeta tertinggi keraton, bahwa Syarif Hidayatullah adalah cucunya
sendiri, juga pesan Prabu Niskala Wastu Kancana (mertuanya) bahwa di Kerajaan Pajajaran
para warganya bebas memeluk agama apapun yang disukainya. Sehingga akhirnya,
Sri Baduga Maharaja mengurungkan niatnya, lalu merestui berdirinya Cirebon
sebagai sebuah negara merdeka, dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati sendiri sebagai rajanya yang pertama Syarif Hidayatullah memerintah
Cirebon antara 1479-568 M. Sejak tahun 1528-1552 M, pelaksana pemerintahan
Cirebon telah ditangani oleh puteranya yang bernama Pangeran Pasarean. Dan
sejak tahun 1552-1568 M, pelaksana pemerintahan Cirebon telah dipegang oleh
Pangeran Fatahillah, menantunya.
No comments:
Post a Comment