Kondisi
dan Situasi Alam
Secara geografis, Jawa Barat, tempat
kebudayaan Sunda lahir, tumbuh, dan berkembang, terletak pada posisi antara 50 50’ dengan 70 50’ Lintang Selatan dan antara 1040 48’ dengan 1080 48’ Bujur Timur. Luas wilayahnya 46.890 km2.
Wilayah Jawa Barat merupakan bagian integeral
dari wilayah Republik Indonesia yang secara geografis berwujud kepulauan.
Kepualaun ini biasa disebut Kepulauan Nusanatra, sebuah istilah yang telah
dipakai sejak abad ke-14 Masehi, yaiut pada jaman Majapahit. Dewasa ini istilah
tersebut digunakan pula untuk menamai sebuah konsep wawasan yang memandang
kepulauan Indonesia sebagai kesatuan geografis, kesatuan wilayah, yaitu Wawasan
Nsantara. Lokasi wilayah Republik Indonesia sendiri berada pada posisi antara 60 Lintang Utara dengan 110 Lintang Selatan dan antara 1400 Bujur Tmur. Luasnya mencapai 2.270.087 km2 [daratan], tetapi setelah digunakan sistem
baru tentang wilayah negara dengan memasukkan wilayah perairan Indonesia
berdasarkan UU No. 4/Prp, tahun 1960 maka luas keseluruahannya adalah 5.193.250
km2.
Sejak jaman tersier, sebagian besar wilayah
Indonesia merupakan lautan. Dataran hanya terdapat di bagian barat Kalimantan
yang bersatu dengan dataran Asia dan bagian selatan Irian yangbersatu dengan
dataran Australia. Namun pada penghujung era ini—era Pleosin—terjadi lagi
kegiatan alam yang mengakibatkan sebagian lautan menjadi dataran.
Perubahan luas lautan dan dataran terus
berlanjut hingga memasuki jaman selajutnya, yaitu jaman Kuarter yang terdiri
dari beberapa fase, di antaranya: Pleistosin, Sub-Holosin, dan Holosin.
Perubahan-perubahan alam tersebut bukan saja disebabkan terjadinya orogenesa,
kegiatan gungun berapi, gempa bumi, dan perubahan aliran sungai. Lebih dari
itu, proses kegiatan alam ini juga dikarenakan terjadinya masa glasial dan
interglasial pada masa Pleistosin sampai empat kali. Pada masa glasial bagian
terbesar air di dunia membeku, sehingga berimbas pada penurunan permukaan air
laut sampai 60-70 m. Tak heran jika pada masa ini luas daratan di seluruh
wilayah Indonesia bertambah sehingga bersatu dengan Benua Asia. Dari proses ini
menghasilkan terbentuknya dua dataran: dataran Sunda dan Sahul. Namun ketika
memasuki masa interglasial air es—yang
pada masa glasial membeku—mencair dan membuat permukaan air laut naik.
Kini pulau-pulau yang pada masa glasial menyatu kemudian membetuk pulau-pulau
yang terpisah. Seperti, pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Irian dan lain-lain
[Bemmelen, 1949; Heekeren,1972: 72].
Dilihat dari unsur-unsur utama fisiografi,
Pulau Jawa dapat dibagi atas dua bagian. Pertama, bagian selatan yang
mengandung genaticline dan berwujud daerah pegunugnan.kedua, bagian utara yang
mengandung geosycline dan berwujud dataran rendah. Sedangkan berdasarrkan
perbedaan-perbedaan fisografis dan strukturnya, Pulau Jawa dapat dibedakan
menjadi empat bagian. Keempat bagian dimaksud adalah Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, dan ujung timur Pulau Jawa [Oosthoek] berikut Pulau Madura dan
Selat Madura [Bemmelen, 1949: 2-26]
Sementara itu, Jawa Barat menurut
fisografisnya, meliputi wilayah antara Banten dengan Cirebon. Wilayah ini
berwujud rendah alluvial di bagian utara dan pegunugnan bagian selatan.
Perbandingan antara bagian daaran rendah dengan bagian pegunungan adalah satu
banding tiga. Jadi lebih laus wilayah pegunungan daripada wilayah dataran
rendah.
Adapun dataran-dataran tinggi di Jawa Barat,
diperkirakan pertama kali muncul dari dasar laut pada akhir zaman Miosen yang
merupakan bagian dari zaman Tertier. Proses terbentuknya gunung-gunung berapi,
bukit-bukit, dan dataran-dataran tinggi di Jawa Barat berlanjut sampai
penghujung zaman Tersier atau tepatnya zaman Pleosin. Sedangkan dataran-dataran
rendah di bagian utara Jawa Barat pada umumnya terbentuk sebagai akibat pengendapan
alluvial dan lahar dari pengikisan lapisan-lapisan vulkanis tertier pegunungan
berapi di bagian selatan Jawa Barat. Dari keadaan alamnya, dataran Jawa Barat
terbagi ke dalam lima dataran: Banten, Jakarta, Bogor, Bandung dan Pegunungan
Selatan.
Pertama,
dataran Banten, keadaan alamnya berhubungan erat dengan Selat Sunda dan
Sumatera Selatan. Munculnya gunung-gunung berapi di dataran tersebut dan
terjadinya endapan di kedua tepi Selat Sunda [Lampung dan banten] diakibatkan
oleh lapisan tuffa yang diduga terjadi pada zaman Tersier menjelang zaman
Kuarter. Sementara untuk dataran rendah yang ada di Banten diperkirakan
terbentuk akibat pelipatan-pelipatan yang terjadi pada penghujung era Tersier
oleh endapan tuffa kuarter dan alluvial.
Beberapa kompleks gunung di barat laut daerah
Banten muncul di atas dataran rendah bagianutara. Kompleks-kompleks gunung
tersebut di antranya: Kompleks Gunung Gede dengan ketinggian puncak 595 m yang
ditandai oleh kota pelabuhan Merak sebagai kaki gunung sebalah barat, kompleks
Danau yang mempunyai dua buah gunung, yaitu Gunung Karang [1.778 m] dan Gunung
Pulosari [1.346 m]. Kedua gunung ini memiliki aktivitas letusan yang diikuti
oleh gunug-gunung di Selat Sunda, antar lain Gunung Rakata [813 m]. Daerah
Lampung dan Banten yang dipisahkan Selat Sunda ditutupi oleh tanah asam [acid]
dan batu-batuan [tuff] dari letusan-letusan gunung berapi yang menjulang di
sektiar daerah tersebut pada jaman Pleistosin. Kompleks Ujungkulon dengan
puncak tertinggi berada di Gunung Payung [480 m] dan kompleks Pasir Honje
dengan puncak setinggi 620 m di Banten tenggara dipisahkan oleh laut dari Pulau
Jawa pada jaman Pleosin dan membentuk ujung Bukit Barisan di Pulau Sumatera.
Tetapi garis yang menghubungkan kedua kompleks tersebut dengan Pulau Sumatera
runtuh pada jaman Pleistosin dan reruntuhannya sekarang membentuk laut
yangkedalamannya mencapi lebih dari 1.000 meter yang teletak di abgian selatan
Selat Sunda [Edi S. Ekadjati, 1995:
17-18]
Kedua,
dataran Jakarta merupakan dataran rendah yang lebarnya sekitar 40 km dan
meliputi daerah yang terbentang dari Serang, Rangkasbitung, Jakarta, hingga
Cirebon. Rendahnya dataran Jakarta disebabkan pengikisan lapisan tertier
pegunungan berapi dari daerah pedalaman, seperti, Gunuung Gede dan Gunung Pangrango.
Sebagian besar dari dataran Jakarta ini terdiri atas endapan alluvial yang
terbawa oleh aliran sungai dan lahar.
Ketiga,
dataran Bogor merupakan komplek bukit dan pegunungan yang terletak di sebelah
selatan dataran Jakarta. Lebar dataran ini 40 km dan terbentang dari Jasinga di
perbatasan Bogor-Banten sekarang di sebelah barat ke arah timur hingga Kali
Pemali [Sungai Cipamali] dan Bumiayu di wilayah Jawa Tengah sekarang. Dataran
ini juga terdiri atas dua bagian. Pertama, bagian barat yang berpusat di
Bogor dan berakhir di kompleks Gunung Sanggabuana di sebelah barat Purwakarta.
Kedua bagian timur yang dibentuk oleh gunung-gunung baru, seperti kompleks
pegunungang Sunda yang terdiri dari Gunung Burangrang [2.064 m], Tangkuban
Parahu [2.076 m], Bukittunggul [2.209 m], Palasari, dan Manglayang; kompleks
Gunugn Tampomas [1.684 m] dan kompleks Gunung Ciremai [3.078 m].
Keempat,
dataran Bandung memiliki gugusan pegunungan depresif akibat lapisan Tertier. Lebar dataran ini
sekitar 20-40 km yang terbentang dari Teluk Pelabuhan Ratu di barat, melalui
Lembah Cimandiri [daerah Sukabumi dengn puncak tertinggi 600 m], dataran tinggi
Cianjur [puncak tertinggi 715 m], dataran tingi Garut [puncak tertinggi 711 m],
dataran tingi Tasikmalaya dengan puncak tertinggi 315 m, hingga ke Lembah
Citanduy di timur, dan berujung di Sagara Anakan. Secara struktural, dataran ini memiliki geanticline
paling banyak di Pulau Jawa. Adapun pembatas antara dataran Bandung dengan
dataran Bogor adalah deretan gunung yang
terbentu pada jaman Kuarter, yang terdiri dari: Gunung Kendeng [1.370 m], Gagak
[1.511 m], Salak [2.211 m], Pangrango [3.019 m], Gede [2.958 m]. Sedangkan
antara dataran bandung dan dataran Pegunungan Selatan dibatasi oleh rentetan
gunung yang lainnya, seperti, Gunung Patuha [2.429 m], Tilu [2.040 m], Malabar
[2.321 m], Papandayan [2.622 m], dan Cikuray [2.821 m].
Selain itu, dataran Bandung juga memiliki tiga
seksi, yaitu, seksi Garut, seksi Plateau Bandung, dan seksi Lembah Citanduy.
Ketiga seksi tersebut dibatasi oleh deretan gunung. Seksi Garut dan seksi
Plateau Bandung dibatasi oleh Gunung Guntur [2.249 m] dan Gunung Madalawangi
[1.163 m]. Sedangkan seksi Garut dan seksi Lembah Citanduy dibatasi oleh
barisan Gunung Galunggung [2.241 m], Gunung Talagabodas [2.201 m], dan Gunung
Sadakeling [1.176 m]. Keberadaan Gunung Sawal yang sudah tidak aktif lagi
menempati posisi terpisah di tengah-tengah Lembah Cintanduy. Sementara itu, di
datran Lembah Citanduy bermunculan gunung-gunung kecil, di antaranya: Gunung
Sangkur [365 m] yang berdekatan dengan Banjar, di sebelah barat Rawalabok.
Kelima,
dataran
Pegunungan Selatan yang dibentuk oleh pegunungan di Priangan Selatan terbentang
dari Teluk Pelabuhan Ratu di barat hingga Pulau Nusakambangan di timur dengan
lebar rata-rata 50 km, hanya di bagian timur menyempit hingga lebarnya ada yang
beberapa kilometer saja. Jika dilihat dari segi fisiografinya, dataran ini
memiliki tiga seksi, yaitu seksi Jampang di sebelah barat, seksi Pangalengan di
tengah, dan seksi Karangnunggal di sebelah timur [Edi S. Ekadjati, 1995: 20,
Yoseph Iskandar, 1997:2-4].
Ada fenomena menarik yang terjadi di seksi Jampang, yaitu
munculnya permukaan tanah secara perlahan dari Samudera Hindia sampai
ketinggian kira-kira 1.000 m—dengan beberapa pengecualian pada leher gunung
berapi yang lebih tinggi seperti Gunung Malang [1.305 m]—untuk kemudian
berbelok sampai ke daerah dataran Bandung. Adalah seksi Pangalengan merupakan bagian tertinggi
di dataran Pegunungan Selatan ini, keberadaannya dikelilingi beberapa gunung
yang sudah tidak aktif lagi, misalnya, Gunung Kancana [2.182 m]. Sementara itu
proses peralihan antar ujung yang terangkat dari bagian tengah dataran ini dan
dataran Bandung ditandai oleh serangkaian Gunung dari jaman Kuarter. Adapun
seksi Karangnunggal kondisi alamnya tidak jauh berbeda dengan seksi Jampang,
yang memiliki daerah pegunungan yang relatif rendah, selain Gunung Bangkok
[1.144 m] jarang ada gunung lain yang ketinggian puncaknya mencapai lebih dari
1.000 m.
No comments:
Post a Comment