Sunday, December 13, 2015

Dinamika Istilah Sunda dan Jawa Barat II



Naskah lain yang bisa kita rujuk sebagai bahan pengetahuan mengenai kerajaan Sunda bisa dilacak dari sumber yang berasal dari Jawa ketika kerajaan Majapahit berkuasa, yang selalu menyebut kerajaan atau wilayah bagian barat pulau Jawa itu adalah Sunda. Dalam naskah Pararaton, misalnya, yang bertutur tentang kerajaan Singosari dan Keraajan Majapahit, menyebutkan Sunda sebagai kerajaan yang berdiri sendiri dengan struktur hirarki sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Dalam naskah ini pula terungkap peristiwa yang disebut Pasunda Bubat [Brandes, 1896: 28-29; Kern, 1920: 36-37] atau perang Bubat yang melibatkan pertempuran antara pengiring raja Sunda dengan pasukan Majapahit di daerah Bubat di dekat sungai yang lokasinya tidak jauh dari ibu kota Majapahit. Pertempuran itu tak terhindarkan karena penolakan Prabu Maharaja, sebagai Raja Sunda [1350-1357 terhadap keinginan Gajah Mada sebagai Patih Majapahit, yang hendak mempersunting putri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan istri Hayam Wuruk, raja Majapahit [1350-1589]. Peritiwa perang Bubat itu kemudian dituangkan dalam karya sastra Jawa berjudul Kidung Sunda [Berg, 1927 : 1-161; 1928 : 9-33] dan juga dalam naskah Nagarakretabhumi dari Cirebon. Sedangkan dalam naskah Negarakretagama karangan Mpu Prapanca, seorang Pujangga keraton Majapahit pada masa Hayam Wuruk mash berkuasa [1364] tidak sediktipun menyinggung perang Bubat. Tidak disinggungnya peristiwa Pasunda Bubat dalam naskah yang disebut terakhir itu, menurut dugaan Pigeaud [1962 :36, 291] berdasarkan asumsi Mpu Prapanca bahwa tragedi itu bisa mengganggu ketenteraman batin raja Hayam Wuruk.

Beberapa naskah yang berasal dari Jawa sejak jaman Majapahit [abad ke-17 Masehi] cenderung menyebut Pajajaran sebagai nama kerajaan di bagian barat pulau Jawa. Tak jauh berbeda dengan sumber yang berasal dari Cirebon dan Banten sesudah abad ke-18 M, yang hampir selalu menyebut Pajajaran—bukan Sunda lagi—sebagai  nama kerajaan yang berada di bagian barat pulau Jawa. Menurut Edi S. Kajati [1995 : 7] penyebutan itu juga kemungkinan banyak dipengaruhi oleh tradisi lisan yang berkembang di tatar Sunda sendiri.

Kekalahan dalam perang Bubat menandai awal keruntuhan kerajaan Sunda pada tahun 1957 dan mengakibatkan terpecahnya beberapa wilayah yang pada masa Prabu Maharaja merupakan wilayah kesatuan dari otoritas kerajaan Pakwan Pajajaran. Beberapa wilayah tersebut adalah : Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh. Hanya saja  Sumedanglarang dan Galuh memfusikan wilayahnya dan memakai Priangan untuk menyebut wilayahnya [Haan, 1910, 1912]. Tahapan berikutnya, bekas wilayah kerajaan Sunda itu disebut dengan Tanah Sunda atau Tatar Sunda atau Pasundan [Walbeen, 1857; Haeman, 1867, 1869, 1870; Chips, 1886]. Namun dalam perkembangan selanjutnya nama Priangan dipandang sebagai pusat tanah Sunda [Pasoendan, 1925].

Istilah Sunda juga dipakai ketika merujuk pada sebuah komunitas masyarakat yang lebih tenar dengan sebutan urang Sunda [orang Sunda]. Dalam konteks ini ada dua kriteria pengertian orang Sunda. Pertama, kriteria yang berdasarkan hubungan darah atau keturunan. Dalam hal ini urang Sunda itu berarti orang yang mengakui dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda [Warnaen et.al., 1987 : 1]. Kedua, kriteria yang berdasarkan faktor sosial dan budaya, yang berarti orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma serta nilai-nilai budaya Sunda.

Bagi sebagian komunitas yang tinggal di daerah pesisir, seperti penduduk Cirebon, orang Sunda biasa disebut urang gunung, wong gunung, dan tiyang gunung yang berarti orang gunung [ENI, IV, 1921; Rosidi, 1984; 129 Adiwilaga, 1975]. Tampaknya, anggapan yang mengatakan bahwa pusat Tanah Sunda berada di Priangan yang merupakan daerah pegunungan dengan puncak-puncaknya yang relatif tinggi, menjadi alasan bagi orang-orang pesisir untuk menyebut orang Sunda dengan orang Gunung. Hal ini diperkuat sebagian pendapat yang menyatakan bahwa peranan orang Sunda di daerah pesisir sejak akhir abad XVI sudah berakhir dan beralih ke daerah pegunungan atau pedalaman.

Istilah Sunda juga seringkali disandingkan dengan istilah kebudayaan yang berarti sebuah kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda dan umumnya berdomisili di Tatar Sunda. Dalam bangunan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia, kebudayaan Sunda digolongkan ke dalam kebudayaan daerah seperti yang termaktub dalam UUD 1945, terutama penjelasan pasal 32 dan pasal 36.

Selain itu, ada juga yang menggunakan istilah Sunda dalam kaitannya dengan kepentingan pemetaan. Dalam topografi “The Hammond World Atlas” [1980: 82] tertera kalimat Sunda Island yang artinya Kepulauan Sunda dan digunakan sebagai sebutan bagi  seluruh kepulauan yang ada di Nusantara. Hal ini masih sejalan dengan peta yang pernah dibuat oleh Portugis dan Belanda di masa lalu yang membagi Nusantara menjadi dua gugusan kepulauan: Kepulauan Sunda Besar [Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi] dan Kepulauan Sunda Kecil [Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur].

Sementara itu, seperti sudah menjadi anggapan umum dan tercatat dalam banyak literatur bahwa istilah Jawa Barat diambil dari terjemahan West Java. Beberapa sejarawan, seperti Edi S. Ekadjati berpendapat bahwa penggunaan istilah West Java dimulai pada abad XIX Masehi yang momentumnya bertepatan dengan jatuhnya Pulau Jawa ke tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai bagian dari strategi mereka dalam memantau wilayah jajahannya dan sekaligus untuk kepentingan administrasi mereka.

Pembagian teritorial Pulau Jawa menjadi tiga daerah militer oleh penguasa Hindia Belanda dinilai strategis untuk memudahkan militer Belanda dalam mematahkan perlawanan yang tak jarang terjadi dibeberapa daerah. Lebih-lebih pasca terjadinya Perang Dipenogoro [1825-1830] mendorong mereka untuk memecah kesatuan Pulau Jawa menjadi Daerah Militer I West Java, Daerah Militer II Midden Java, dan Daerah Militer III Oost Java [Ali, 1975:11-12]. Bagi sebagian orang Belanda, pembagian Pulau Jawa sudah dimulai sejak tahun 1705 manakala kerajaan Mataram menyerahkan wilayah bagian barat pulau Jawa kepada Belanda [VOC], minus wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Banten. Tahun berikutnya barulah ditentukan batas wilayah antara Mataram dan Kumpeni, yaitu Sugai Cilosari di utara dan Sungai Cidonan di selatan. Pada masa kekuasaan dipegang Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels [1808-1811 batas di sebelah selatan digeser ke sebelah barat, sehingga sungai Citanduy menjadi pembatasnya [Ali, 1975: 11-12]. Meski demikian, saat itu istilah West Java belum dikenal.

Memang, terhitung sampai tahun 1816  istilah istilah West Java belum cukup tenar, sehingga tak heran jika seorang sejarawan Belanda, Thomas Stanford Raffles tidak menggunakan istilah tersebut dalam karya tulisnya yang menelusuri sejarah Jawa. Dalam tulisannya, ia berpendapat bahwa pada mulanya orang Eropa mengira Pulau Jawa itu berada pada satu tangan kekuasan, tetapi ternyata menurut sejarah wilayah itu terbagi dua yang dikuasai oleh dua kekuasaan yang masing-masing berdiri sendiri. Pembagian wilayah itu dipisahkan oleh Sungai Cilosari yang merupakan perbatasan antara daerah irebon dengan daerah Brebes. Satu bagian berada di sebelah barat dan bagian lain berada di sebelah timur yang menjadi tempat tinggal keturunan dua bangsa. Penuturannya mengenai pembagian wilayah Pulau Jawa, Raffles menggunakan nama daerah dalam lingkup keresidenan. Wilayah sebelah barat terdiri atas keresidenan Banten, Batavia, Priangan, dan Cirebon. Sedangkan wilayah sebelah timur dinyatakannya sebagai eastern districts [daerah-daerah sebelah timur] dan tidak menggunakan istilah East Java atau Centeral Java [Raffles, I, 1978: 8; II, 1978; 256].

Menurut pendapat Edi S. Ekadjati [1995: 10-11] kemungkinan orang pertama yang menggunakan istilah Midden Java [Jawa Tengah], adalah J. Hageman Jcz. yang  termaktub dalam tulisannya mengenai sejarah Pulau Jawa. Tepatnya, ketika Hageman menyoal Perang Dipenogoro, yang menyebut istilah Midden Java satu kali saja, itupun tercantum dalam catatan kaki di akhir tulisannya [Hageman, 1856: 416]. Sementara Alfred Russel Wallace dalam bukunya yang bertutur mengenai perjalanannya di Kepulauan Nusantara—termasuk Pulau Jawa pada tahun 1861—hanya menyinggung istilah West Java dua kali. Namun ketika sampai pada topik pengembaraannya ke wilayah Pulau Jawa bagian timur, Wallace tidak memakai istilah  East Java, melainkan the east of Java. Begitupun saat ia bercerita mengenai wilayah Pulau Jawa bagian tengah, dirinya menggunakan istilah the centre of Java yang mengarah pada wilayah Yogyakarta dan Surakarta [Walace, 1902: 80, 86-88]. Sedangkan penggunaan istilah West Java dipakai oleh S. Coolsma untuk judul bukunya yang diterbikan pada 1879, di dalam bukunya, ia mengungkapkan bahwa Pulau Jawa tebagi atas dua bagian, yaitu West Java dan Oost Java [Coolsma, 1879].

Pemakaian istilah West Java, Oost Java dan Midden Java mulai resmi digunakan dan populer terhitung sejak tahun 1925 yang sekaligus menandai terbentuknya kesatuan administrasi pemerintahan berupa daerah otonom di tingkat provinsi. Provincie West Java lebih dulu dibentuk pada tahun 1925, setahun kemudian dibentuklah Provincie Midden Java dan Provincie Oost Java. Adapun wilayah pembatas antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tidak berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh Mataram dan Kumpeni [1706], dengan penggeseran wilayah yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal Daendels. Dengan demikian provinsi Jawa Barat terdiri atas wilayah Banten, Batavia [Jakarta], Priangan, dan Cirebon [Staatblad no. 235 dan 378 tahun 1925].

No comments:

Post a Comment