Naskah lain yang bisa kita rujuk sebagai bahan
pengetahuan mengenai kerajaan Sunda bisa dilacak dari sumber yang berasal dari
Jawa ketika kerajaan Majapahit berkuasa, yang selalu menyebut kerajaan atau
wilayah bagian barat pulau Jawa itu adalah Sunda. Dalam naskah Pararaton,
misalnya, yang bertutur tentang kerajaan Singosari dan Keraajan Majapahit,
menyebutkan Sunda sebagai kerajaan yang berdiri sendiri dengan struktur hirarki
sebagaimana layaknya sebuah kerajaan. Dalam naskah ini pula terungkap peristiwa
yang disebut Pasunda Bubat [Brandes, 1896: 28-29; Kern, 1920: 36-37] atau
perang Bubat yang melibatkan pertempuran antara pengiring raja Sunda dengan
pasukan Majapahit di daerah Bubat di dekat sungai yang lokasinya tidak jauh
dari ibu kota Majapahit. Pertempuran itu tak terhindarkan karena penolakan
Prabu Maharaja, sebagai Raja Sunda [1350-1357 terhadap keinginan Gajah Mada
sebagai Patih Majapahit, yang hendak mempersunting putri Raja Sunda bernama
Dyah Pitaloka untuk dijadikan istri Hayam Wuruk, raja Majapahit [1350-1589]. Peritiwa
perang Bubat itu kemudian dituangkan dalam karya sastra Jawa berjudul Kidung
Sunda [Berg, 1927 : 1-161; 1928 : 9-33] dan juga dalam naskah Nagarakretabhumi
dari Cirebon. Sedangkan dalam naskah Negarakretagama karangan Mpu
Prapanca, seorang Pujangga keraton Majapahit pada masa Hayam Wuruk mash
berkuasa [1364] tidak sediktipun menyinggung perang Bubat. Tidak disinggungnya
peristiwa Pasunda Bubat dalam naskah yang disebut terakhir itu, menurut dugaan
Pigeaud [1962 :36, 291] berdasarkan asumsi Mpu Prapanca bahwa tragedi itu bisa
mengganggu ketenteraman batin raja Hayam Wuruk.
Beberapa naskah yang berasal dari Jawa sejak
jaman Majapahit [abad ke-17 Masehi] cenderung menyebut Pajajaran sebagai nama
kerajaan di bagian barat pulau Jawa. Tak jauh berbeda dengan sumber yang
berasal dari Cirebon dan Banten sesudah abad ke-18 M, yang hampir selalu
menyebut Pajajaran—bukan Sunda lagi—sebagai
nama kerajaan yang berada di bagian barat pulau Jawa. Menurut Edi S.
Kajati [1995 : 7] penyebutan itu juga kemungkinan banyak dipengaruhi oleh
tradisi lisan yang berkembang di tatar Sunda sendiri.
Kekalahan dalam perang Bubat menandai awal keruntuhan
kerajaan Sunda pada tahun 1957 dan mengakibatkan terpecahnya beberapa wilayah
yang pada masa Prabu Maharaja merupakan wilayah kesatuan dari otoritas kerajaan
Pakwan Pajajaran. Beberapa wilayah tersebut adalah :
Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh. Hanya saja Sumedanglarang dan Galuh memfusikan
wilayahnya dan memakai Priangan untuk menyebut wilayahnya [Haan, 1910, 1912]. Tahapan
berikutnya, bekas wilayah kerajaan Sunda itu disebut dengan Tanah Sunda atau
Tatar Sunda atau Pasundan [Walbeen, 1857; Haeman, 1867, 1869, 1870; Chips,
1886]. Namun dalam perkembangan selanjutnya nama Priangan dipandang sebagai
pusat tanah Sunda [Pasoendan, 1925].
Istilah Sunda juga dipakai ketika merujuk pada
sebuah komunitas masyarakat yang lebih tenar dengan sebutan urang Sunda [orang
Sunda]. Dalam konteks ini ada dua kriteria pengertian orang Sunda. Pertama,
kriteria yang berdasarkan hubungan darah atau keturunan. Dalam hal ini urang
Sunda itu berarti orang yang mengakui dirinya dan diakui oleh orang lain
sebagai orang Sunda [Warnaen et.al., 1987 : 1]. Kedua, kriteria yang
berdasarkan faktor sosial dan budaya, yang berarti orang Sunda adalah orang
yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya
menghayati serta mempergunakan norma-norma serta nilai-nilai budaya Sunda.
Bagi sebagian komunitas yang tinggal di daerah
pesisir, seperti penduduk Cirebon, orang Sunda biasa disebut urang gunung,
wong gunung, dan tiyang gunung yang berarti orang gunung [ENI, IV,
1921; Rosidi, 1984; 129 Adiwilaga, 1975]. Tampaknya, anggapan yang mengatakan
bahwa pusat Tanah Sunda berada di Priangan yang merupakan daerah pegunungan
dengan puncak-puncaknya yang relatif tinggi, menjadi alasan bagi orang-orang
pesisir untuk menyebut orang Sunda dengan orang Gunung. Hal ini diperkuat
sebagian pendapat yang menyatakan bahwa peranan orang Sunda di daerah pesisir
sejak akhir abad XVI sudah berakhir dan beralih ke daerah pegunungan atau
pedalaman.
Istilah Sunda juga seringkali disandingkan
dengan istilah kebudayaan yang berarti sebuah kebudayaan yang hidup, tumbuh,
dan berkembang di kalangan orang Sunda dan umumnya berdomisili di Tatar Sunda.
Dalam bangunan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia, kebudayaan Sunda
digolongkan ke dalam kebudayaan daerah seperti yang termaktub dalam UUD 1945,
terutama penjelasan pasal 32 dan pasal 36.
Selain itu, ada juga yang menggunakan istilah
Sunda dalam kaitannya dengan kepentingan pemetaan. Dalam topografi “The
Hammond World Atlas” [1980: 82] tertera kalimat Sunda Island yang
artinya Kepulauan Sunda dan digunakan sebagai sebutan bagi seluruh kepulauan yang ada di Nusantara. Hal
ini masih sejalan dengan peta yang pernah dibuat oleh Portugis dan Belanda di
masa lalu yang membagi Nusantara menjadi dua gugusan kepulauan: Kepulauan Sunda
Besar [Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi] dan Kepulauan Sunda Kecil [Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur].
Sementara itu, seperti sudah menjadi anggapan
umum dan tercatat dalam banyak literatur bahwa istilah Jawa Barat diambil dari
terjemahan West Java. Beberapa sejarawan, seperti Edi S. Ekadjati
berpendapat bahwa penggunaan istilah West Java dimulai pada abad XIX
Masehi yang momentumnya bertepatan dengan jatuhnya Pulau Jawa ke tangan
pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai bagian dari strategi mereka dalam
memantau wilayah jajahannya dan sekaligus untuk kepentingan administrasi
mereka.
Pembagian teritorial Pulau Jawa menjadi tiga
daerah militer oleh penguasa Hindia Belanda dinilai strategis untuk memudahkan
militer Belanda dalam mematahkan perlawanan yang tak jarang terjadi dibeberapa
daerah. Lebih-lebih pasca terjadinya Perang Dipenogoro [1825-1830] mendorong
mereka untuk memecah kesatuan Pulau Jawa menjadi Daerah Militer I West Java,
Daerah Militer II Midden Java, dan Daerah Militer III Oost Java [Ali,
1975:11-12]. Bagi sebagian orang Belanda, pembagian Pulau Jawa sudah dimulai
sejak tahun 1705 manakala kerajaan Mataram menyerahkan wilayah bagian barat
pulau Jawa kepada Belanda [VOC], minus wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan
Banten. Tahun berikutnya barulah ditentukan batas wilayah antara Mataram dan
Kumpeni, yaitu Sugai Cilosari di utara dan Sungai Cidonan di selatan. Pada masa
kekuasaan dipegang Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels [1808-1811 batas di
sebelah selatan digeser ke sebelah barat, sehingga sungai Citanduy menjadi
pembatasnya [Ali, 1975: 11-12]. Meski demikian, saat itu istilah West Java belum
dikenal.
Memang, terhitung sampai tahun 1816 istilah istilah West Java belum cukup
tenar, sehingga tak heran jika seorang sejarawan Belanda, Thomas Stanford
Raffles tidak menggunakan istilah tersebut dalam karya tulisnya yang menelusuri
sejarah Jawa. Dalam tulisannya, ia berpendapat bahwa pada mulanya orang Eropa
mengira Pulau Jawa itu berada pada satu tangan kekuasan, tetapi ternyata
menurut sejarah wilayah itu terbagi dua yang dikuasai oleh dua kekuasaan yang
masing-masing berdiri sendiri. Pembagian wilayah itu dipisahkan oleh Sungai
Cilosari yang merupakan perbatasan antara daerah irebon dengan daerah Brebes.
Satu bagian berada di sebelah barat dan bagian lain berada di sebelah timur
yang menjadi tempat tinggal keturunan dua bangsa. Penuturannya mengenai
pembagian wilayah Pulau Jawa, Raffles menggunakan nama daerah dalam lingkup
keresidenan. Wilayah sebelah barat terdiri atas keresidenan Banten, Batavia,
Priangan, dan Cirebon. Sedangkan wilayah sebelah timur dinyatakannya sebagai eastern
districts [daerah-daerah sebelah timur] dan tidak menggunakan istilah East
Java atau Centeral Java [Raffles, I, 1978: 8; II, 1978; 256].
Menurut pendapat Edi S. Ekadjati [1995: 10-11]
kemungkinan orang pertama yang menggunakan istilah Midden Java [Jawa
Tengah], adalah J. Hageman Jcz. yang
termaktub dalam tulisannya mengenai sejarah Pulau Jawa. Tepatnya,
ketika Hageman menyoal Perang Dipenogoro, yang menyebut istilah Midden Java satu
kali saja, itupun tercantum dalam catatan kaki di akhir tulisannya [Hageman,
1856: 416]. Sementara Alfred Russel Wallace dalam bukunya yang bertutur
mengenai perjalanannya di Kepulauan Nusantara—termasuk Pulau Jawa pada tahun
1861—hanya menyinggung istilah West Java dua kali. Namun ketika sampai
pada topik pengembaraannya ke wilayah Pulau Jawa bagian timur, Wallace tidak
memakai istilah East Java,
melainkan the east of Java. Begitupun saat ia bercerita mengenai wilayah
Pulau Jawa bagian tengah, dirinya menggunakan istilah the centre of Java
yang mengarah pada wilayah Yogyakarta dan Surakarta [Walace, 1902: 80, 86-88].
Sedangkan penggunaan istilah West Java dipakai oleh S. Coolsma untuk
judul bukunya yang diterbikan pada 1879, di dalam bukunya, ia mengungkapkan
bahwa Pulau Jawa tebagi atas dua bagian, yaitu West Java dan Oost
Java [Coolsma, 1879].
Pemakaian istilah West Java, Oost Java
dan Midden Java mulai resmi digunakan dan populer terhitung sejak tahun
1925 yang sekaligus menandai terbentuknya kesatuan administrasi pemerintahan
berupa daerah otonom di tingkat provinsi. Provincie West Java lebih dulu
dibentuk pada tahun 1925, setahun kemudian dibentuklah Provincie Midden Java
dan Provincie Oost Java. Adapun wilayah pembatas antara Provinsi Jawa
Barat dan Jawa Tengah tidak berbeda dengan yang telah ditetapkan oleh Mataram
dan Kumpeni [1706], dengan penggeseran wilayah yang dilakukan oleh
Gubernur-Jenderal Daendels. Dengan demikian provinsi Jawa Barat terdiri atas
wilayah Banten, Batavia [Jakarta], Priangan, dan Cirebon [Staatblad no.
235 dan 378 tahun 1925].
No comments:
Post a Comment