Dinamika
Istilah Sunda dan Jawa Barat 1
Sebelum lebih jauh menelusuri sejarah Jawa Barat, ada
beberap hal yang sedari awal mesti disikapi secara arif—terutama—ketika istilah
Jawa Barat dan Sunda berada dalam satu topik pembahasan. Apalagi
dalam konteks otonomi daerah yang bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah
di wilayah Jawa Barat penyandingan kedua istilah tersebut dinilai kurang tepat.
Tanpa bermaksud memperuncing klaim beberapa pihak yang berbeda pendirian dalam
menyikapi pemakaian istilah Jawa Barat dengan istilah Sunda. Perlu kiranya diawal
bab ini dituturkan terlebih dahulu mengenai bagaimana perkembangan pengertian,
kedudukan dan relasi dari kedua istilah tersebut. Hal ini penting mengingat
secara historis keduanya telah mengalami perubahan pengertian dan tafsiran yang
tidak jarang menimbulkan kebingungan dan keragu-raguan dalam penggunaannya.
Salah seorang sejarawan R.W. van Bemmelen
[1949] berpandangan bahwa Sunda merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian
tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang
melingkar [circum-Sunda Mountain System] yang panjangnya sekitar 7.000
km. Dataran Sunda tersebut terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian utara
yang meliputi Kepulauan Fhilipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan
Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat
mulai Maluku bagian selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam [India].
Dengan demikian, bagian selatan hingga dataran
Sunda itu dibentuk oleh kawasan yang dimulai dari Pulau Banda di timur hingga
ke arah barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil [the Lasser Sunda
Islands] yang di dalamnya termasuk pulau Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman,
dan Nikobar samapai ke Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini
bersambung dengan kawasana sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Shul di
timur [Bemmelen, 1949:2-3]. Selain itu, dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula
terminologi Sunda Besar dan Sunda Kecil. Pemakaian terminlogi Sunda Besar
ditujukan pada deretan pulau yang berukuran besar. Di antaranya: Sumatera,
Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merujuk pada pulau-pulau
yang berukuran kecil, seperti, Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor
[Bemmelen, 1949: 15-16].
Istilah Sunda yang mengacu pada pengertian wilayah di
bagian barat pulau Jawa muncul pertama kalinya pada abad 11 Masehi dengan
ditemukannya prasasti di desa Cibadak, kabupaten Sukabumi yang mencatat istilah
tersebut. Dalam prasasti yang berangka tahun 952
Saka—sama dengan tahun 1030 Masehi—itu termaktub pengakuan Sri Jayabhupati yang
menyebut dirinya sebagai raja kerajaan Sunda [Pleyte, 1916: 201-218].
Meski dalam prasasti Sri Jayabhupati itu tidak disebutkan
waktu berdirinya kerajaan Sunda, informasi mengenai siapa pendiri pertama
kerajaan Sunda bisa ditemukan dalam sumber sekunder yang tertuang dalam naskah Nagarakretaabhumi.
Jika
merujuk sumber yang satu ini, maka dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda
didirikan pertama kali oleh Maharaja Tarusbawa [Pleyte, 1914: 257-280]. Dalam
naskah yang berbahasa Sunda Kuno itu tercatat bahwa Maharaja Tarusbawa
memerintah pada tahun 591-645 Saka yang bertepatan dengan tahun 669/670-723/724
Masehi. Keberadaan Maharaja Tarusbawa disinyalir sebagai penerus raja-raja
Tarumanagara [Atja dan Ayatrohaedi: 1986: 157, 227]. Berpijak dari data ini,
maka—untuk sementara—bisa disimpulkan bahwa kerajaan Sunda berdiri pada akhir
abad ke-7 Masehi atau abad ke-8 Masehi.
Selain prasasti dan naskah di atas, pemakaian istilah
Sunda untuk menandai sebuah nama kerajaan atau wilayah bisa dilacak juga dari
prasasti Kabantenan yang ditemukan di Bekasi. Dalam prasasti itu dikemukakan adanya tempat (dayeuhan)
yang bernama Sunda-sembawa, di samping
tempat lain yang bernama
jayagiri. Kedua tempat itu berada di
wilayah Kerajaan Sunda [Sutaarga, 1984:33]. Menurut Saleh Danasasmita
kemungkinan yang dimaksud dengan dayeuhan bernama Sundasembawa itu adalah nama
daerah mandala, sebuah daerah suci tempat ritual keagamaan. [Danasasmita &
Anis Djatisunda, 1986: 2-7].
Lebih dari itu, kita juga bisa membaca empat
naskah berbahasa Sunda Kuno lainnya yang dibuat pada akhir abad ke-15 atau abad
ke-16 Masehi. Adapun keempat naskah itu adalah: [1] Carita Parahiyangan
[Atja, 1967], Sanghyang Siksakanda Ng Karesian [Atja & Saleh
Danasasmita, 1977], Sewaka Darma [Danasasmita et.al., 1987], dan Bujangga
Manik [Noorduyn, 1982: 413-442]. Keempat naskah ini menyebut nama wilayah
Sunda bersama atau dalam hubungan dengan nama wilayah lain, seperti Jawa,
Lampung, Baluk, dan Cempa. Menurut data dari naskah yang disebut terakhir juga
dijelaskan tentang batas wilayah Sunda dengan wilayah Jawa, yaitu Sungai
Cipamali—sekarang Kali Pemali—yang berdekatan dengan Brebes. Hal ini bisa
terbaca dari tulisan, “sadatang ka tungtung Sunda, meu[n]tasing di Cipamali,
datang ka alas Jawa,” yang berarti, “setibanya di ujung [wilayah] Sunda
lalu menyeberangi sungai Cipamali, maka sampailah di tanah Jawa.” [Noorduyn,
1982: 415]. Perbatasan wilayah Sunda juga diabadikan dalam tradisi lisan Sunda
berupa pantun lakon Ciung Wanara yang kisahnya diakhiri dengan sumpah dan
kesepakatan antara dua tokoh utama
kakak-beradik, yaitu Ciung Wanara dan Hariang Banga, bahwa mereka akan
menyudahi pertengkaran dan bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan di Pulau
Jawa atas dua bagian, Sunda dan Jawa dengan menjadikan Sungai Cipamali sebagai
batas kedua wilayah itu. Selain itu keduanya juga sepakat untuk secara turun
temurun akan memerintah di wilayah kerajaan masing-masing yaitu Ciung Wanara di
Pajajaran [Sunda] dan Hariang Banga di Kerajaan Majapahit [Jawa]. Lebih lanjut
diceritakan bahwa Ciung Wanara pergi ke barat sambil berpantun, sedngkan
Hariang Banga pergi ke timur sembari menembang [Pleyte, 1911:85-134; 1913: 281-428].
Menurut Edi S. Ekadjati ada sebuah naskah yang ditulis di Sumedang pada tahun
1846 yang masih menyakatakan bahwa batas Kerajaan Sumedanglarang—penerus
Kerajaan Sunda—di sebelah timur adalah Lépén [Sungai] Pemali [Ekadjati, 1984:
100, 336, 339].
Sementara itu, keberadaan Kerajaan Sunda
disaksikan oleh beberapa orang Portugis pada awal abad ke-16 Masehi. Kesksian
pertama diberikan oleh Tome’ Pires, seoran gPortugis yang mengadakan perjalanan
keliling Kepu lauan Nusantara dengan menggunakan kapal laut pada ahun 1513 M.
Dalam ekspedisi itu. Pires antara lain mengunjungi pesisir utara pulau Jawa dan
mampir di beberapa kota pelabuhan,
termasuk kota-kota pelabuhan yan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda.
Menurutnya, pada waktu itu kerajaan Sunda menempati wilayah yang disebut tanah
Sunda. Masih menurut Pires, tanah Sunda terpisah dengan tanah Jawa yang
batasnya ditandai dengan keberadaan sungai Cimanuk yang sekaligus merupakan
kota pelabuhan yang terletak dimuara sungai. Kota pelabuhan ini merupakan bagian
ujung imur wilayah Kerajaan Sunda. Sedangakan kota pelabuhan Cirebon yang
terletak di sebelah timur Cimanuk, dianggap tidak terasuk wilayah kerajaan
Sunda [Cortesao, 1944:166-174]. Dari sini kita bisa menangkap bahwa Tome’ Pires
ingin mengatakan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda itu meliputi wilayah dari
Cimanuk ke barat sampai daerah Banten.
Pemetaan wilayah yang dilakukan Pires terhadap Sunda dan
Jawa hanya didasarkan pada segi geografis, bahasa dan agama saja, tanpa
memperhatikan kondisi daerah pedalaman dan masa lalu daerah itu. Mungkin
Pires tidak sempat mengamati keadaan daerah pedalaman seperti Galuh yang pada
saat dirinya melakukan ekspedisi masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Sunda. Hal ini bisa dimaklumi mengingat
ekspedisi yang dilakukannya sepintas lalu. Meski demikian dalam
catatannya, Pires mengungkapkan bahwa pada saat itu di wilayah pesisir sedang
terjadi proses perubahan wilayah kekuasaan, penduduk, dan agama [Ekadjati,
1995: 5-6]. Selain Pires ada beberapa orang Portugis lainnya yang juga
mengunjungi bagian barat pulau Jawa, seperti De Barros bersama rombongan yang
dipimpin Henriques de Leme menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Sunda berada di
pedalaman yang disebutnya Dayo [Raffles, 1817: xxii; Hageman, 1867: 210-215,
227-228; Djajadiningrat, 1913: 73-79].
Beberapa karangan sejarah sejak abad ke-19 Masehi yang
ditulis R. Friederich, K.F. Holle, C.M Pleyte, maupun H.Ten Dam yang menyebut
Pajajaran sebagai sebuah nama kerajaan Sunda merujuk pada istilah atau kata
yang termaktub dalam prasasti Batutulis, cerita pantun, dan tradisi lisan. Sementara
itu jika mengacu pada pendapat Sutaarga [1984:49-53] dan Ayat Rohaedi [1986] yang mengatakan bahwa Pajajran
atau lebih lengkapnya Pakwan Pajajaran adalah nama ibu kota kerajaan, bukan
nama kerajaannya. Hal ini dikarenakan ibu kota Kerajaan Sunda mengalami
beberapa kali perpindahan [Galuh, Pakwan, Kawali, Saunggalah, Pakwan
Pajajaran], maka untuk menunjuk periode tertentu kerajaan Sunda, disebut nama
ibu kotanya. Dengan kata lain kerajaan Sunda yang dimaksud para sejarawan tadi
adalah masa kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakwan Pajajaran. Sebuah periode
kerajaan Sunda yang gemilang namun sekaligus merupakan moment keruntuhannya.
No comments:
Post a Comment