Sunday, December 13, 2015

NAPAK TILAS SEJARAH JAWA BARAT



Dinamika Istilah Sunda dan Jawa Barat 1

Sebelum lebih jauh menelusuri sejarah Jawa Barat, ada beberap hal yang sedari awal mesti disikapi secara arif—terutama—ketika istilah Jawa Barat dan Sunda berada dalam satu topik pembahasan. Apalagi dalam konteks otonomi daerah yang bagi sebagian masyarakat di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat penyandingan kedua istilah tersebut dinilai kurang tepat. Tanpa bermaksud memperuncing klaim beberapa pihak yang berbeda pendirian dalam menyikapi pemakaian istilah Jawa Barat dengan istilah Sunda. Perlu kiranya diawal bab ini dituturkan terlebih dahulu mengenai bagaimana perkembangan pengertian, kedudukan dan relasi dari kedua istilah tersebut. Hal ini penting mengingat secara historis keduanya telah mengalami perubahan pengertian dan tafsiran yang tidak jarang menimbulkan kebingungan dan keragu-raguan dalam penggunaannya.

Salah seorang sejarawan R.W. van Bemmelen [1949] berpandangan bahwa Sunda merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar [circum-Sunda Mountain System] yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda tersebut terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian utara yang meliputi Kepulauan Fhilipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat serta bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat mulai Maluku bagian selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam [India].

Dengan demikian, bagian selatan hingga dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan yang dimulai dari Pulau Banda di timur hingga ke arah barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil [the Lasser Sunda Islands] yang di dalamnya termasuk pulau Jawa, Sumatera, Kepulauan Andaman, dan Nikobar samapai ke Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasana sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Shul di timur [Bemmelen, 1949:2-3]. Selain itu, dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula terminologi Sunda Besar dan Sunda Kecil. Pemakaian terminlogi Sunda Besar ditujukan pada deretan pulau yang berukuran besar. Di antaranya: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merujuk pada pulau-pulau yang berukuran kecil, seperti, Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor [Bemmelen, 1949: 15-16].

Istilah Sunda yang mengacu pada pengertian wilayah di bagian barat pulau Jawa muncul pertama kalinya pada abad 11 Masehi dengan ditemukannya prasasti di desa Cibadak, kabupaten Sukabumi yang mencatat istilah tersebut. Dalam prasasti yang berangka tahun 952 Saka—sama dengan tahun 1030 Masehi—itu termaktub pengakuan Sri Jayabhupati yang menyebut dirinya sebagai raja kerajaan Sunda [Pleyte, 1916: 201-218].

Meski dalam prasasti Sri Jayabhupati itu tidak disebutkan waktu berdirinya kerajaan Sunda, informasi mengenai siapa pendiri pertama kerajaan Sunda bisa ditemukan dalam sumber sekunder yang tertuang dalam naskah Nagarakretaabhumi. Jika merujuk sumber yang satu ini, maka dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda didirikan pertama kali oleh Maharaja Tarusbawa [Pleyte, 1914: 257-280]. Dalam naskah yang berbahasa Sunda Kuno itu tercatat bahwa Maharaja Tarusbawa memerintah pada tahun 591-645 Saka yang bertepatan dengan tahun 669/670-723/724 Masehi. Keberadaan Maharaja Tarusbawa disinyalir sebagai penerus raja-raja Tarumanagara [Atja dan Ayatrohaedi: 1986: 157, 227]. Berpijak dari data ini, maka—untuk sementara—bisa disimpulkan bahwa kerajaan Sunda berdiri pada akhir abad ke-7 Masehi atau abad ke-8 Masehi.

Selain prasasti dan naskah di atas, pemakaian istilah Sunda untuk menandai sebuah nama kerajaan atau wilayah bisa dilacak juga dari prasasti Kabantenan yang ditemukan di Bekasi. Dalam prasasti itu dikemukakan adanya tempat (dayeuhan) yang bernama Sunda-sembawa, di samping  tempat  lain yang bernama jayagiri. Kedua tempat  itu berada di wilayah Kerajaan Sunda [Sutaarga, 1984:33]. Menurut Saleh Danasasmita kemungkinan yang dimaksud dengan dayeuhan bernama Sundasembawa itu adalah nama daerah mandala, sebuah daerah suci tempat ritual keagamaan. [Danasasmita & Anis Djatisunda, 1986: 2-7].

Lebih dari itu, kita juga bisa membaca empat naskah berbahasa Sunda Kuno lainnya yang dibuat pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi. Adapun keempat naskah itu adalah: [1] Carita Parahiyangan [Atja, 1967], Sanghyang Siksakanda Ng Karesian [Atja & Saleh Danasasmita, 1977], Sewaka Darma [Danasasmita et.al., 1987], dan Bujangga Manik [Noorduyn, 1982: 413-442]. Keempat naskah ini menyebut nama wilayah Sunda bersama atau dalam hubungan dengan nama wilayah lain, seperti Jawa, Lampung, Baluk, dan Cempa. Menurut data dari naskah yang disebut terakhir juga dijelaskan tentang batas wilayah Sunda dengan wilayah Jawa, yaitu Sungai Cipamali—sekarang Kali Pemali—yang berdekatan dengan Brebes. Hal ini bisa terbaca dari tulisan, “sadatang ka tungtung Sunda, meu[n]tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa,” yang berarti, “setibanya di ujung [wilayah] Sunda lalu menyeberangi sungai Cipamali, maka sampailah di tanah Jawa.” [Noorduyn, 1982: 415]. Perbatasan wilayah Sunda juga diabadikan dalam tradisi lisan Sunda berupa pantun lakon Ciung Wanara yang kisahnya diakhiri dengan sumpah dan kesepakatan antara dua tokoh  utama kakak-beradik, yaitu Ciung Wanara dan Hariang Banga, bahwa mereka akan menyudahi pertengkaran dan bersepakat untuk membagi wilayah kekuasaan di Pulau Jawa atas dua bagian, Sunda dan Jawa dengan menjadikan Sungai Cipamali sebagai batas kedua wilayah itu. Selain itu keduanya juga sepakat untuk secara turun temurun akan memerintah di wilayah kerajaan masing-masing yaitu Ciung Wanara di Pajajaran [Sunda] dan Hariang Banga di Kerajaan Majapahit [Jawa]. Lebih lanjut diceritakan bahwa Ciung Wanara pergi ke barat sambil berpantun, sedngkan Hariang Banga pergi ke timur sembari menembang [Pleyte, 1911:85-134; 1913: 281-428]. Menurut Edi S. Ekadjati ada sebuah naskah yang ditulis di Sumedang pada tahun 1846 yang masih menyakatakan bahwa batas Kerajaan Sumedanglarang—penerus Kerajaan Sunda—di sebelah timur adalah Lépén [Sungai] Pemali [Ekadjati, 1984: 100, 336, 339].

Sementara itu, keberadaan Kerajaan Sunda disaksikan oleh beberapa orang Portugis pada awal abad ke-16 Masehi. Kesksian pertama diberikan oleh Tome’ Pires, seoran gPortugis yang mengadakan perjalanan keliling Kepu lauan Nusantara dengan menggunakan kapal laut pada ahun 1513 M. Dalam ekspedisi itu. Pires antara lain mengunjungi pesisir utara pulau Jawa dan mampir  di beberapa kota pelabuhan, termasuk kota-kota pelabuhan yan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Menurutnya, pada waktu itu kerajaan Sunda menempati wilayah yang disebut tanah Sunda. Masih menurut Pires, tanah Sunda terpisah dengan tanah Jawa yang batasnya ditandai dengan keberadaan sungai Cimanuk yang sekaligus merupakan kota pelabuhan yang terletak dimuara sungai. Kota pelabuhan ini merupakan bagian ujung imur wilayah Kerajaan Sunda. Sedangakan kota pelabuhan Cirebon yang terletak di sebelah timur Cimanuk, dianggap tidak terasuk wilayah kerajaan Sunda [Cortesao, 1944:166-174]. Dari sini kita bisa menangkap bahwa Tome’ Pires ingin mengatakan wilayah kekuasaan kerajaan Sunda itu meliputi wilayah dari Cimanuk ke barat sampai daerah Banten.

Pemetaan wilayah yang dilakukan Pires terhadap Sunda dan Jawa hanya didasarkan pada segi geografis, bahasa dan agama saja, tanpa memperhatikan kondisi daerah pedalaman dan masa lalu daerah itu. Mungkin Pires tidak sempat mengamati keadaan daerah pedalaman seperti Galuh yang pada saat dirinya melakukan ekspedisi masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini bisa dimaklumi mengingat  ekspedisi yang dilakukannya sepintas lalu. Meski demikian dalam catatannya, Pires mengungkapkan bahwa pada saat itu di wilayah pesisir sedang terjadi proses perubahan wilayah kekuasaan, penduduk, dan agama [Ekadjati, 1995: 5-6]. Selain Pires ada beberapa orang Portugis lainnya yang juga mengunjungi bagian barat pulau Jawa, seperti De Barros bersama rombongan yang dipimpin Henriques de Leme menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Sunda berada di pedalaman yang disebutnya Dayo [Raffles, 1817: xxii; Hageman, 1867: 210-215, 227-228; Djajadiningrat, 1913: 73-79].

Beberapa karangan sejarah sejak abad ke-19 Masehi yang ditulis R. Friederich, K.F. Holle, C.M Pleyte, maupun H.Ten Dam yang menyebut Pajajaran sebagai sebuah nama kerajaan Sunda merujuk pada istilah atau kata yang termaktub dalam prasasti Batutulis, cerita pantun, dan tradisi lisan. Sementara itu jika mengacu pada pendapat Sutaarga [1984:49-53] dan Ayat  Rohaedi [1986] yang mengatakan bahwa Pajajran atau lebih lengkapnya Pakwan Pajajaran adalah nama ibu kota kerajaan, bukan nama kerajaannya. Hal ini dikarenakan ibu kota Kerajaan Sunda mengalami beberapa kali perpindahan [Galuh, Pakwan, Kawali, Saunggalah, Pakwan Pajajaran], maka untuk menunjuk periode tertentu kerajaan Sunda, disebut nama ibu kotanya. Dengan kata lain kerajaan Sunda yang dimaksud para sejarawan tadi adalah masa kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakwan Pajajaran. Sebuah periode kerajaan Sunda yang gemilang namun sekaligus merupakan moment keruntuhannya.

No comments:

Post a Comment